Saya teringat ketika Prof. Yohanes Surya membina siswa-siswi dari daerah tertinggal di Papua. Untuk menguasai dan mengoperasikan matematika dasar itu cukup 3-6 bulan saja. Tetapi membina karakter dasar itu perlu 8 tahun. Bahkan untuk mengantri saja perlu waktu lebih dari 6 tahun. Artinya, membangun karakter perlu kesabaran, latihan terus menerus, dan ekosistem sekitarnya harus mendukung. Guru/ Dosen juga jangan hanya mengajar, tetapi juga harus mendidik.
Karakter
Membangun karakter tidak semudah membalik telapak tangan, membangun karakter juga dimulai dari keluarga. Karakter akan membentuk kita untuk bisa menerima orang lain, menerima kekurangan dan kelebihan orang lain, bekerjasama dengan orang lain dan membangun kebersamaan dalam menyelesaikan sebuah persoalan.
Karakter juga akan membentuk kita untuk memiliki kemampuan kerjasama, kolaborasi antar sesama teman satu kelompok dan beda kelompok, kemampuan menerima keadaan tanpa iri hati dengan orang lain. Kemampuan menerima kemenangan dan kekalahan. Sifat dan jiwa sportif harus dibangun sejak PAUD dan terus dipupuk selama pendidikan. Karakter sabar, penolong, kemampuan menerima kenyataan dan tetap optimis itu sangat penting dalam pendidikan.
Pertandingan atau perlombaan itu ada dua tipe, yakni (1) perlombaan terbatas (finite game) dan (2) perlombaan tak terbatas (infinite game). Pertandingan terbatas seperti dalam olahraga, ada peraturan yang jelas termasuk status menang kalah sebuah pertandingan, serta durasinya. Semua ini harus dipahami sehingga pemain dan penonton taat pada "rule of the game". Tidak ada dalam pertandingan yang waktunya tidak terbatas. Bila pertandingan itu tidak boleh seri, tentu ada perpanjangan waktu sampai adu penalti. Semua itu harus dihormati. Sehingga ketika grupnya kalah, mungkin bersedih, tetapi tidak boleh anarkis.
Adapun "infinite game" (perlombaan tak terbatas) adalah kehidupan itu sendiri. Itu pun ada regulasinya. Tidak bisa kita hidup sembarangan semaunya sendiri, tanpa menghiraukan orang lain. Kita memang perlu kebebasan, tetapi kebebasan kita juga dibatasi oleh kebebasan orang lain, jadi harus saling respek.
Dan kita harus paham, bahwa dalam perlombaan jenis ini rivalnya adalah diri kita sendiri, alias hawa nafsu. Itu pun harus dilatih. Karena memang perang yang paling berat itu adalah perang melawan dirinya sendiri.
Pendidikan harus mampu memahami "finite dan infinite game." Sepertinya pendidikan karakter kita, pemahaman makna kompetisi, perlombaan terbatas, perlombaan tak terbatas alias kehidupan itu sendiri kurang diberikan dalam dunia pendidikan kita.
Â
Kita mungkin terlalu terburu-buru pada kompetensi keras (hard competency) dan kurang memperhatikan soft competency. Akhirnya nilai-nilai kemanusiaan kita lemah.
Disinilah peran keluarga sebagai institusi pembentukan karakter dan pengetahuan  pertama dan bagi manusia sebelum  berinteraksi dengan masyarakat lainnya dan mempersiapkan diri sebelum masuk ke lembaga pendidikan formal.
Dari uraian di atas, sekarang saatnya kita melakukan evaluasi terhadap apa yang sudah terjadi. Mencari titik permasalahannya dan segera melakukan perbaikan agar kesalahan serupa tidak terulang lagi. Kita juga perlu melakukan introspeksi diri, bercermin dari apa yang sudah kita lakukan selama ini. Dan, segera belajar untuk menguasai diri sendiri agar tidak mudah terprovokasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H