Mohon tunggu...
James P Pardede
James P Pardede Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Menulis itu sangat menyenangkan...dengan menulis ada banyak hal yang bisa kita bagikan.Mulai dari masalah sosial, pendidikan dan masalah lainnya yang bisa memberi pencerahan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Zaman Dulu Vs Guru "Zaman Now"

23 Januari 2019   22:19 Diperbarui: 23 Januari 2019   22:44 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru yang ditiru dan digugu Foto :james pardede

Guru zaman now, kalau tidak akrab dengan teknologi akan dicap menjadi guru yang ketinggalan zaman. Benarkah anggapan itu ? Mungkin, kalau kita kembali mengingat bagaiman peran guru di tahun 70-an sampai tahun 90-an dimana teknologi komunikasi masih mengandalkan telepon rumah, guru-guru pada masa itu sangat fokus dalam mengajar.

Kemudian, beranjak pada jaman teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih, guru-guru yang dulu fokus dengan pengajarannya mulai terpengaruh dengan kebiasaan guru zaman now (yang sudah mengenal teknologi), guru yang mulai mengajar di atas tahun 2000-an.

Guru jaman sekarang banyak yang mengajar sambil melihat status Facebook atau selfie dulu dengan peserta didik lalu dipublish di Instagram. Kalau hanya sekadar ingin eksis dan bisa mendisiplinkan diri untuk tidak berlama-lama dengan medsos, mungkin tak jadi masalah. Hanya saja, kenyataan di lapangan justru sebaliknya. 

Di beberapa sekolah ada aturan yang mengharuskan guru saat mengajar tidak boleh mengakrabi androidnya atau smartphone-nya. Benda yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang itu harus diamankan ketika proses belajar mengajar berlangsung.

Keberadaan handphone saat ini telah menyita banyak waktu menjadi terbuang dengan percuma. Antara orang tua dengan anak seperti ada sebuah sekat yang membatasinya, komunikasi langsung antara sesama anggota keluarga di rumah jadi jarang tercipta karena semua sibuk dengan handphone-nya masing-masing. Ada yang sibuk dengan games, media sosial atau sibuk menonton Youtube. 

Kebiasaan ini terbawa terus sampai anak beranjak remaja, dan akhirnya menjadi insan yang introvert dan cenderung tertutup karena setiap hari mengakrabi handphone. Tak perlu heran kalau hari-hari belakangan ini kita melihat sekumpulan orang yang sedang makan di restoran, lebih fokus melihat androidnya daripada menikmati santapan yang ada dihadapannya.

Apabila kebiasaan ini terbawa terus sampai ke sekolah, maka klop-lah proses belajar mengajar dikelas tersebut dikuasai oleh teknologi informasi yang menggiring kita lebih banyak tersenyum sendiri, tertawa sendiri dan marah sendiri dengan benda yang ada ditangan kita. Harapan kita disaat ini, agar sekolah benar-benar menjalankan aturan no HP saat pelajaran di dalam kelas sedang berlangsung.

Di beberapa sekolah, ada aturan yang mengharuskan peserta didik menitipkan handphonenya di luar kelas atau langsung disita pihak sekolah agar proses belajar mengajar berjalan sesuai dengan harapan. Ketika ada keperluan orangtua terhadap anaknya, bisa menghubungi pihak sekolah dan pihak sekolah yang akan menyampaikan kepada peserta didik perihal pesan penting orangtuanya. 

Terkadang, aturan ini bagi orang tua tertentu terlalu dibuat-buat. Padahal, kalau kita berpikir secara positif cara seperti ini akan mendisiplinkan anak agar menghargai setiap jenis waktu. Ada waktu untuk belajar, waktu untuk makan dan waktu untuk tidur. Di antaranya, orang tua bisa menerapkan aturan bagi anak untuk bermain dengan androidnya pada jam-jam tertentu. Aturan untuk mendisiplinkan anak dalam menghargai waktu sejalan dengan gagasan yang disampaikan Presiden RI Joko Wododo untuk mewujudkan pentingnya revolusi mental. 

Presiden RI Joko Widodo menyampaikan bahwa revolusi mental masih tetap dijalankan di Indonesia. Semua elemen harus bersatu padu dalam mewujudkannya. Kalau revolusi mental dan sistem yang baik sudah terbangun, ini akan memperkecil niat seseorang melakukan tindakan yang tidak bermanfaat. 

Salah satu penentu dan pemegang kunci revolusi mental di negeri ini adalah guru. Selain orangtua dan keluarga di rumah, guru juga memiliki waktu yang hampir sama dengan orangtua dalam berinteraksi dengan anak di sekolah atau dosen di kampus. Revolusi mental harus dimulai dari dunia pendidikan dan secara simultan berjalan di bidang-bidang lainnya. Mengapa dunia pendidikan? Karena sebagian besar waktu anak hingga menjelang dewasa (18 tahun waktu anak dihabiskan di bangku pendidikan). 

Lembaga pendidikan menjadi rumah kedua untuk menempa anak-anak menjadi manusia dewasa yang bermartabat. Sayangnya, pendidikan yang dijalani selama ini belum sepenuhnya melahirkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Akibatnya, sejumlah penyelewengan dalam kehidupan berbangsa masih terjadi hingga saat ini, bahkan cenderung semakin parah. 

Sekarang tak zamannya lagi kita mencari-cari siapa yang salah, tapi mari kita membangun negeri ini dari sisi dan keberadaan kita masing-masing, apakah sebagai seorang guru, rohaniawan atau profesi apa saja yang kita anggap bisa membangun karakter dan mensejahterakan masyarakat kita. 

Berdasarkan siklus pembentukan moral, karakter dan pendidikan anak, layaknya revolusi mental memang harus dimulai dari dunia pendidikan dan guru adalah motor penggerak, sekaligus teladan dalam menanamkan nilai-nilai moral tadi. Guru tidak lagi hanya sekadar pengajar atau pendidik, tapi guru memiliki peran ganda dalam melakukan revolusi mental anak agar tidak terkontaminasi dengan sikap yang salah.

Makin gencarnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi saat ini perlu disikapi positif oleh para guru. Guru berarti menjadi panutan, guru harus membagi ilmu yang diperolehnya kepada peserta didik dengan cara yang benar dan bukan direkayasa.

Itu sebabnya, tidak mudah menjadi guru yang baik ditengah-tengah masyarakat, karena guru membutuhkan pengorbanan yang luar biasa. Oleh karena itu tidak salah gelarnya diberikan kepada guru sama dengan pahlawan yang gugur di medan perang merebut kemerdekaan, yaitu sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Guru itu sesungguhnya bukan pahlawan tanpa tanda jasa, guru itu sesungguhnya memiliki jasa yang sangat besar. 

Guru zaman sekarang sudah banyak yang menjalankan tugasnya setengah hati. Seperti yang disampaikan salah seorang guru yang sudah lulus sertifikasi, ada beban yang harus mereka pikul selain menjalankan tugas mengajar di dalam kelas. Dimana mereka harus membuat laporan tertulis, program pengajaran dan laporan lainnya. Menyikapi hal ini, sebaiknya pemerintah sudah mempersiapkan sebuah modul yang mudah diakses dan guru yang mengajar tinggal mengikuti dan mengisi modul tersebut tanpa harus membuang waktu percuma.

Adakalanya guru mengajar di dalam kelas hanya memberikan tugas kepada peserta didik, sementara sang guru sibuk dengan laporannya. Proses belajar mengajar seperti ini menjadi tidak efektif. Penanaman nilai-nilai moral tidak lagi pernah terselip dalam tatap muka di dalam kelas. Guru hanya menjalankan tugas sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksinya) saja. Karena itulah, guru tidak dihormati lagi untuk memberikan kontribusi yang sangat besar kepada pembangunan bangsa dan negara kita.

Guru yang diharapkan sebagai motor penggerak revolusi mental perlu juga melakukan perubahan dalam perilaku, cara mengajar dan selalu update informasi terbaru agar tidak tertinggal informasi terkini dalam memberikan materi ajar kepada peserta didik. Update informasi bisa dilakukan dengan rajin membaca buku dan menyerap informasi terkini lewat berbagai media massa dan elektronik.

Kita sadar sepenuhnya, bahwa saat ini, gurulah satu-satunya agen perubahan yang memiliki tugas  baik secara institusional maupun non-institusional. 

Gurulah yang setiap hari mengajarkan norma, moral, etika, pembiasaan karakter positif serta warisan budaya yang lintas generasi. Kita sangat sadar sepenuhnya, bahwa sendi-sendi yang menopang sebuah bangsa diantaranya adalah berupa karakter dan mentalitas rakyatnya, hal tersebut menjadi pondasi yang kokoh dari tata nilai bangsa tersebut. 

Keruntuhan sebuah bangsa ditandai dengan semakin lunturnya tata nilai dan karakter bangsa, walaupun secara fisik bangsa tersebut masih berdiri tegak. Karakter dan mentalitas rakyat yang kukuh dari suatu bangsa tidak terbentuk secara alami, melainkan melalui interaksi sosial yang dinamis dan serangkaian program pembangunan yang diarahkan oleh pemimpin bangsa. Dalam konteks inilah maka komitmen guru untuk melakukan perubahan yang cepat atau revolusi mental sangat penting. 

Guru yang memiliki komitmen kuat akan mendidik dengan sepenuh hati dan revolusioner. Mereka sadar akan tugasnya, bahwa profesi guru tidak bisa digantikan oleh para pekerja profesi yang lain, karena mengajar dan mendidik itu adalah sebuah seni yang harus mampu memahami seluk beluk siswa seutuhnya baik secara psikologis dan antroplogis sosial. 

Kita sepakat dengan Mendikbud yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan interaksi antar manusia, yaitu antara pendidik dan peserta didik. Wajah masa depan Republik Indonesia berada di kelas-kelas yang ada saat ini.

Karakter-karakter manusia Indonesia juga dibangun dan diciptakan di kelas-kelas yang ada di seluruh Indonesia. Sangat disayangkan jika zaman ini masih ada guru yang melakukan malpraktek dalam mengajar, maka akibatnya akan dirasakan dari generasi ke generasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun