Musibah longsor yang melanda beberapa daerah di Indonesia sepanjang tahun 2018 saja sudah banyak menelan korban jiwa dan kerugian mencapai ratusan juta rupiah bahkan lebih. Apakah kita hanya menerimanya sebagai musibah tanpa ada upaya untuk melakukan evaluasi terhadap apa yang kita perbuat sebelumnya?
Seperti kata pepatah, tak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Itu artinya tak mungkin terjadi longsor kalau kita tidak melakukan hal yang salah terhadap lingkungan. Kita terlalu rakus untuk memiliki lahan seluas-luasnya tanpa pernah memikirkan dampaknya.
Terkadang, kita membelah perbukitan dan menjadikannya sebagai tempat pemukiman. Padahal, kalau kita mau ramah terhadap lingkungan di sekitar kita pasti yang namanya harmoni akan tercipta dengan sendiriya.
Pemerintah sesungguhnya bukan tidak punya kepedulian terhadap perlindungan lingkungan termasuk kelestarian hutan di sekitar kita. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menurut UU no 32 tahun 2009 pasal 1 ayat (2) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. UU disahkan di Jakarta, 3 Oktober 2009 oleh Presiden dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Dalam UU ini tercantum jelas dalam Bab X bagian 3 pasal 69 mengenai larangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi larangan melakukan pencemaran, memasukkan benda berbahaya dan beracun (B3), memasukkan limbah ke media lingkungan hidup, melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dan lain sebagainya.
Larangan-larangan tersebut diikuti dengan sanksi yang tegas dan jelas tercantum pada Bab XV tentang ketentuan pidana pasal 97-123. Salah satunya adalah dalam pasal 103 yang berbunyi: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Beberapa aturan dan larangan yang dibuat dalam bentuk undang-undang sudah dijalankan, hanya saja kita kurang perduli dan terkesan sangat tidak perduli dengan masa depan lingkungan tempat kita berdiam.
Kita terkadang cenderung abai dan tidak perduli dengan lingkungan sekitar kita. Padahal, kita sangat sadar ketika hutan dan lingkungan kita terusik maka kelangsungan mahluk hidup di sekitarnya akan terancam.
Saat hutan di sekitar kita sudah gundul, maka siap-siaplah kita menerima dampaknya. Air hujan tak bisa lagi ditahan oleh hutan yang gundul, air langsung mengalir dan melimpah ke pemukiman penduduk, banjir dan longsor pun tak bisa dibendung.
Sekarang saatnya kita membangkitkan kembali kepedulian kita terhadap lingkungan dan upaya pelestariannya. Kalau kita perduli, maka orang lain perduli dengan upaya penyelamatan lingkungan. Kampanye sadar lingkungan akan membuat kita terhindar dari bencana banjir dan longsor.
Langkah nyata yang bisa kita lakukan adalah dengan melakukan penanaman pohon, membuang sampah pada tempatnya dan tidak mengalihfungsikan hutan menjadi perkebunan atau pemukiman baru. Menanam pohon hari ini akan memberi dampak pada anak cucu kita nanti, menaman pohon juga kita telah ikut mewariskan oksigen kepada generasi berikutnya.
Upaya penegakan hukum dari pemerintah pun sesungguhnya harus tegas agar memberi efek jera kepada perusak lingkungan. Penegakan hukum jangan tebang pilih, karena kalau perusak lingkungan dihukum ringan maka ke depan oknum tersebut akan mengulangi perbuatannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H