KERUKUNAN antar umat beragama di beberapa daerah masih sangat terawat dengan baik. Saya masih ingat waktu masih Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di kampung kelahiran saya di Kabupaten Mandailing Natal. Setiap kali liburan sekolah, saya selalu memilih berlibur ke kampung Ompung (Kakek/Nenek) dari ibu saya di Sipirok, Tapanuli Selatan. Waktu mereka masih hidup, saya sangat senang kalau berada di kampung Ompung saya. Keluarga dari Ompung saya banyak yang beragama Islam, ompung kami yang beragama Kristen. Dalam hubungan kekerabatan kami tidak pernah mempermasalahkan agama. Keberagaman menjadi kekuatan terbesar bagi kami untuk saling tolong menolong.
Setiap kali panen padi atau musim tanam, maka orang-orang di kampung Ompung saya akan saling tolong menolong dan ini adalah bukti dari pentingnya kebersamaan. Kalau kita sendiri yang memanen mungkin selesainya bisa berhari-hari dan tenaga kita akan terkuras. Akan tetapi ketika dilakukan bersama-sama, pekerjaan yang berat tadi bisa selesai dalam satu hari. Kebersamaan dalam melakukan sebuah pekerjaan menjadi perwujudan dari kalimat : Kita Tidak Kuat Kalau Sendiri.
Saya masih ingat waktu liburan sekolah bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Saya sangat senang karena diajak saudara dari Ompung saya untuk merayakannya dan ikut takbiran bersama mereka, saya waktu itu mendapat kesempatan sebagai pemukul beduk sampai tengah malam. Esok harinya kami jalan ke rumah-rumah dan menyampaikan Selamat Idul Fitri. Kerukunan begitu terjaga sangat erat, tak ada diantara kami pada waktu itu yang mempermasalahkan latar belakang seseorang. Yang ada adalah saling jaga dan saling menghargai antar sesama.Â
Sampai hari ini saya masih mengingat semua kenangan itu. Saya berharap, kerukunan umat beragama di daerah ini masih terjaga dengan baik. Sampai Ompung saya meninggal pun, keluarga di sana sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan keberagaman. Saat acara penghiburan atas berpulangnya Ompung kami, yang menyiapkan makanan dan minuman adalah warga kampung yang beragama Islam. Kerja sama yang sangat erat antara sesama sangat terlihat di kampung ini. Saya tidak tahu apakah di era masuknya teknologi informasi dan merebaknya media sosial yang mulai menyita waktu setiap kita untuk menjadi manusia yang individualis dan kurang bergaul dengan sesama di sekitar kita bisa memengaruhinya.
Dampak positif dan negatif dari perkembangan teknologi informasi, yang antara lain adalah era media sosial yang membuat semua kalangan tergoda untuk mencobanya. Jika tidak bisa menguasai diri, kehadiran media sosial telah mengakibatkan seseorang bisa bertahan di rumah saja tanpa mau lagi berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.Â
Dampak buruk media sosial, salah satu contohnya adalah tersulutnya emosi orang-orang yang membaca status provokatif. Kasus kerusuhan di Tanjung Balai adalah salah satu kejadian yang disulut oleh oknum tak bertanggung jawab dengan statusnya yang provokatif. Itu sebabnya, jangan pernah membuat status provokatif yang menyulut emosi siapa saja yang membacanya.Â
Mari kita sama-sama memperbaiki apa yang salah selama ini. Mari sama-sama membangun kepedulian dalam merawat Kerukunan Beragama di Era Media Sosial yang semakin beragam. Mulailah untuk membuat sesuatu yang bermanfaat bagi semua orang. Hal kecil berdampak besar bisa kita buat dengan membuat status yang menyejukkan hati dan mengajak semua kalangan untuk selalu menjunjung tinggi keberagaman. Prinsip kita tidak kuat kalau sendiri harus benar-benar ditanamkan kepada anak cucu kita.
Kalau setiap hari kita memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk mengampanyekan arti pentingnya menjaga kerukunan, pasti akan banyak orang yang tersadarkan dengan kalimat-kalimat kita yang menyejukkan. Hari ini mungkin ada 10 orang teman kita memulai status dengan kata-kata positif yang membangun semangat, bisa saja keesokan harinya akan bertambah menjadi 20, 30 sampai akhirnya mencapai ribuan orang.
Perihal membangun kerukunan di lingkungan tempat kita tinggal saja harus dilakukan secara berkesinambungan. Semakin memudarnya jati diri bangsa dan identitas bangsa akibat dari merebaknya media sosial harus segera dipulihkan. Prinsip Kita Tidak Bisa Hidup Kalau Sendiri harus menjadi pedoman dalam merawat hubungan baik antar sesama umat beragama. Kita tak usah larut dengan adanya status provokatif di media sosial.
Selain menjaga dan merawat toleransi antar umat beragama, kita juga memiliki tanggungjawab besar dalam menjaga keamanan di sekitar kita. Keberadaan media sosial harus kita manfaatkan sebagai sarana untuk mengampanyekan hal-hal positif tanpa menyinggung suku, agama, ras dan antar golongan. Agar semua kalangan tidak ada yang update status galau, sendiri, bingung dan yang lainnya yang bisa menimbulkan persepsi negatif. Banyak sudah kasus kejahatan akibat penggunaan media sosial yang salah arah dan berujung ke kematian.
Upaya lainnya untuk meredam kata-kata kotor atau status tak mendidik adalah dengan melakukan pengawasan ekstra ketat dan tidak membeda-bedakan antara anak yang satu dengan yang lainnya. Orangtua sekarang juga dituntut untuk menjadi teman terbaik anak dalam mengatur pesan dan status yang dibuat. Orangtua menjadi pengawas internal dan mengajak anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya.
Sekarang saatnya kita mengajak anak untuk tidak larut dalam dampak negatif media sosial, tapi mengajak mereka memanfaatkan media sosial menjadi kegiatan positif yang bisa saling membangun dan menguatkan.
Â
 Facebook : jamesppardede
twitter : @jamespardede
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H