Mohon tunggu...
James P Pardede
James P Pardede Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Menulis itu sangat menyenangkan...dengan menulis ada banyak hal yang bisa kita bagikan.Mulai dari masalah sosial, pendidikan dan masalah lainnya yang bisa memberi pencerahan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mendengar Apa Kata "Hati"

3 Oktober 2011   03:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:24 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KETIKA kita punya rencana untuk keluar dari rumah, pasti ada-ada saja perasaan yang berkecamuk di dalam hati kita. Ada dua ‘kubu’ di dalam hati kita yang mengingatkan untuk pergi segera, atau menunggu beberapa saat dengan alasan yang tak dapat kita salami lebih dalam. Ketika kita menuruti kubu kata hati yang pertama (pergi dengan segere), kubu hati kita yang satunya lagi mengingatkan agar kita jangan terburu-buru. Dalam kenyataan hidup sehari-hari kita lebih sering mendengar kubu kata hati yang pertama pergi dengan buru-buru. Sementara untuk kubu kata hati yang kedua kita sering mengabaikannya.

Lewat tulisan ini, saya hanya ingin berbagai pengalaman tentang ‘menuruti kata hati’ dan akhirnya lolos dari maut. Kejadiannya sudah sangat lama, mungkin selain saya ada juga orang lain yang memiliki pengalaman sama dalam hal ini. Masih ingat dengan tragedi jatuhnya pesawat Boeing 737-200 Mandala Airlines Penerbangan RI 091 di Medan kan ? Tepatnya, Senin, 5 September 2005 yang lalu.

Saya hendak pergi ke kantor, sebelumnya kami menggunakan mobil rental untuk liburan keluarga (Sabtu dan Minggu). Senin pagi (5 September 2005) saya sudah kasih tahu ke isteri untuk pergi ke kantor sekaligus mengembalikan mobil ke salah satu perusahaan rental mobil terbesar di Indonesia, kantornya di Jalan Gatot Subroto Medan.Sekalian setelah mengembalikan mobil, saya mengambilmotor yang diparkirkan di areal kantor rental mobil tersebut. Entah kenapa, pagi itu saat mau pergi perasaan saya tidak enak. Dua kubu kata hati saya saling protes. Keluar dari rumah dan mengendarai mobil, saya selalu berdoa di dalam hati agar tidak terjadi apa-apa selama di perjalanan.

Waktu itu, saya masih tinggal di Perumahan Simalingkar Medan. Saat berada di persimpangan Simalingkar Medan, hati kecil saya berseru agar belok kiri saja melalui Simpang Selayang Medan-Jalan Setia Budi menuju Gatot Subroto.Padahal, awalnya dari rumah saya sudah berencana lewat Jalan Jamin Ginting saja.Saat di perjalanan menuju Gatot Subroto, pesan singkat dari isteri saya masuk. “Hati-hati di jalan ya, nggak usah kencang-kencang.” SMS itu mengingatkan saya untuk berhati-hati dalam mengemudi mobil.

Sekitar pukul 10 pagi itu, saya mendengar dentuman keras persis sejajar dengan Jalan Jamin Ginting. Kalau tadinya saya mengikuti kata hati yang pertama melintasi Jalan Jaming Ginting Medan, saya tidak tahu apa yang akan terjadi.Tapi kata hati saya yang satunya berkata, kamu masih di sayang oleh Tuhan. Kalau tidak, pasti akan menjadi bagian dari tragedi itu. Setelah dentuman itu, saya bergegas mengembalikan mobil dan memacu sepeda motor langsung ke lokasi jatuhnya pesawat.

Sampai di lokasi kejadian,masih belum banyak orang yang datang. Tim penyelamat, polisi, ambulans dan mobil pemadam kebakaran juga baru sampai di lokasi kejadian. Saya sebagai seorang jurnalis, langsung mengambil gambar dan mengamati beberapa korban yang terbakar.Ada juga korban yang selamat dan segera dilarikan ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. Mantan Gubernur Sumatera Utara H. T.Rizal Nurdin dan Raja Inal Siregar adalah korban jatuhnya pesawat tersebut.

Saat evakuasi korban berlangsung, saya sampai tidak sadar kalau isteri saya sudah berkali-kali menelepon. Setelah saya berada di Rumah Sakit untuk mewawancarai korban yang selamat, barulah saya menelepon isteri dan langsung berkata. “Tadi jalan lewat mana ?” Saya langsung jawab lewat Jalan Setia Budi. Isteri saya curhat, kalau perasaannya juga tidak tenang ketika saya meninggalkan rumah. Di dalam hati, isteri saya berdoa agar saya selamat dan tidak terjadi apa-apa.

Pengalaman ini masih terus membekas di dalam benak saya, terutama setiapkali melintasi Jalan Jamin Ginting tempat jatuhnya pesawat Pesawat Boeing 737-200 Mandala Air Lines. Tidak ada yang tahu kapan kita akan menghadap-Nya. Tapi Tuhan selalu mengingatkan kita lewat berbagai macam tanda. Anda pasti pernah mendapat peringatan atau larangan dari seseorang untuk tidak pergi ke suatu tempat atau menghadiri satu acara. Akan tetapi, karena dorongan dari kubu kata hati yang salah kita tetap bersikeras untuk hadir dan mendapat satu musibah. Ketika musibah melanda, biasanya kita baru tersadar kalau peringatan tadi sebagai pertanda larangan agar kita lolos dari maut.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi perenungan bagi kita. Ketika kata hati Anda mengatakan untuk tidak pergi, cobalah untuk menurutinya atau paling tidak Anda mengulurnya beberapa saat dan menenangkan hati seraya berdoa kepada Tuhan, agar tidak terjadi apa-apa selama di perjalanan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun