Penolakan dan seruan boikot Pilpres di Papua pada 9 Juli mendatang sangat gencar di serukan oleh KNPB yang dilakukan dengan berbagai cara baik dalam bentuk pernyataan sikap dalam setiap aksi-aksi demonstrasi nya, penyebaran selebaran-selebaran kepada masyarakat dan dalam bentuk lainnya yang dilakukan terutama untuk dapat mencegah tinggkat partisipasi masyarakat Papua dalam Pilpres yang akan dilaksanakan dalam beberapa hari lagi.
Isi selebaran manyampaikan kepada seluruh rakyat Papua Barat sorong sampai merauke untuk tidak memilih atau dengan kata lain mengajak rakyat papua memboikot pilpres dengan cara bermartabat dengan menunjung tinggi nilai hukum HAM dan demokrasi. (http://suarakolaitaga.blogspot.com/2014/07/polresta-menagkap-6-aktifis-knpb-sedang.html)
Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor F. Yeimo meminta pemerintah Indonesia untuk tidak memaksa rakyat West Papua mengikuti Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia pada 9 Juli 2014 mendatang. Ketua KNPB ini bahkan menyatakan bertanggung jawab pada seruan boikot pemilu tanpa kekerasan dan tidak memaksa rakyat untuk boikot Pilpres, namun hanya memberitahu agar tidak berpartisipasi dalam agenda penjajah yang sedang menjajah mereka. KNPB mengklaim bahwa seruannya ini sesungguhnya bertujuan menyelamatkan rakyat West Papua dari pembodohan dan penghancuran demokrasi, yakni hak politik rakyat West Papua yang terus dieksploitasi untuk melahirkan aktor-aktor penjajah yang sedang menjajah mereka. (http://suarapapua.com/read/2014/07/02/1471/www.suarapapua.com).
Sistem Noken; Kontroversi dan Implikasi
Sistem noken dalam pelaksanaan Pemilu di Papua adalah pemilihan yang tidak dilakukan secara langsung. Pemilih di suatu wilayah tertentu terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan sesama komunitasnya untuk menentukan siapa yang akan dipilih sebagai kepala daerah di wilayahnya. Setelah keputusan didapat, maka salah satu dari mereka, biasanya kepala suku, mengumumkan hasil musyawarah tersebut, dan mencoblos pasangan yang mereka inginkan sebagai bupati di daerahnya. Maka dengan sendirinya, semua pilihan politik warga ditujukan kepada pasangan yang dimaksud. Sistem noken ini sudah diterapkan di 15 kabupaten di daerah pegunungan tengah Papua yaitu, Jayawijaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Yalimo, Nduga, Tolikara, Puncak Jaya, Puncak, Dogiyai, Deiyai, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, Paniai, Intan Jaya dan Lanny Jaya.
(http://m.metrotvnews.com/play/2014/04/25/234786/realitas-noken-suara-bumi-papua.)
Proses pemilihan dengan sistem Noken ini menuai kontroversi dari berbagai sisi mulai dari keabsahan sistem Noken itu sendiri secara hukum maupun hasil dari pemilihannya, sampai dengan terjadinya konflik politik di Papua. Pada Pilkada 2009 di kabupaten Yahukimo Papua terjadi sengketa yang kemudian dibawa hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK). Azas pemilihan umum yang seharusnya dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia, menjadi alasan pengajuan sengketa Pilkada tersebut. MK kemudian memutuskan bahwa pelaksanaan Pilkada sebagaimana terjadi di kabupaten Yahukimo tersebut adalah sah dengan pertimbangan untuk menghormati kebudayaan lokal di daerah tersebut. Selain itu, MK juga memandang bahwa pelaksanaan Pemilu dengan sistem perwakilan tersebut dapat meminimalisir konflik di tengah masyarakat. Putusan MK tersebut tertuang dalam putusan MK dengan nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009, tanggal 9 Juni 2009.
Penerapan sistem Noken dengan regulasi teknis yang belum jelas, tidak dapat dipungkiri telah menghilangkan azas dari Pemilu itu sendiri yaitu langsung, bebas dan rahasia (LUBER) atau one men one vote, karena keterwakilan masyarakat ini secara otomatis telah diserahkan sepenuhnya pada Kepala Suku. Hal ini tentunya tidak bisa lepas dari kenyataan masih sangat full power nya kekuatan seorang Kepala Suku di Papua terutama di 15 kabupaten yang menerapkan sistem Noken. Di lain sisi, pemilihan dengan sistem Noken ini pada kenyataannya dapat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk turut serta memberikan suaranya dalam Pemilu dengan suara yang bulat terhadap Calon yang telah disepakati bersama sebelumnya.
Fenomena ini diprediksi akan banyak dianggap sebagai peluang menguntungkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam Pemilu, karena bukannya tidak mungkin cukup dengan hanya "menguasai" Kepala Suku daerah tertentu, maka sudah dapat dipastikan juga akan kemana larinya suara bulat masyarakatnya.
Terkait dengan upaya-upaya dan pergerakan KNPB yang menyerukan untuk boikot Pilpres 9 Juli mendatang, sepertinya memang akan cenderung tidak efektif bahkan sangat sia-sia saja karena aksi-aksi yang selama ini dilakukan ditujukan pada masayarakat secara keseluruhan dan tidak difokuskan dengan menggalang para Kepala Suku.
Atau memang benar-benar akan efektifkah ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H