Mohon tunggu...
Jamesallan Rarung
Jamesallan Rarung Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Kampung dan Anak Kampung

Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Magister Manajemen Sumber Daya Manusia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ranah Presiden untuk Memutuskan "Cost Sharing" Peserta JKN/BPJS Kesehatan

26 November 2017   19:23 Diperbarui: 26 November 2017   22:32 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Perubahan manfaat, termasuk usulan "cost sharing" peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) terhadap penyakit katastropik yang dideritanya. Oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, diusulkan 8 penyakit yang menguras dana terbesar. Adapun ke-8 penyakit tersebut adalah: Jantung, Gagal Ginjal, Kanker, Stroke, Sirosis Hepatis, Thalasemia, Leukimia dan Hemofilia.

Program JKN yang dirancang awalnya dengan asas gotong-royong dengan metode saling menyubsidi, yaitu peserta yang lagi tidak sakit menyubsidi peserta yang lagi sakit. Agak mirip sedikit dengan sistem arisan di kampung saya. Dengan landasan ini, maka perubahan metode walaupun untuk sebagian, yaitu dengan usulan untuk adanya "cost sharing", maka akan menjungkirbalikkan asas dimana awalnya program JKN ini dirancang. Karena akan terjadi pada peserta tertentu adalah dirinya juga ikut menanggung sendiri biaya penyakit disaat dirinya sakit (tertentu).

Namun dirinya juga ikut menyubsidi peserta lain yang lagi sakit dan tidak termasuk pada 8 jenis penyakit katastropik yang dilakukan "cost sharing". Hal ini akan mengiris asas keadilan pada peserta JKN. Meskipun memang sebelumnya sudah ada aturan yang mengeliminasi keadaan sakit atau penyakit akibat "kesengajaan" diri sendiri, misalnya mabuk-mabukan dan ugal-ugalan di jalan, lalu terjadi kecelakaan yang menyebabkan dirinya terluka atau sakit. Namun, hal ini harus secara teliti dibedakan dengan penyakit katastropik yang akan dilakukan "cost sharing" oleh peserta JKN.

Data dan fakta di lapangan haruslah menjadi acuan untuk membuat kebijakan. Adapun data dan fakta itu tidak boleh hanya melihat dari segi uang saja. Karena jika hal itu dilakukan, maka bukankah hal ini bukan lagi program sosial dimana negara wajib hadir di dalamnya, namun akan menjadi program keuangan yang mengutamakan segi materialistik dan bukan lagi segi kemanusiaan?

Boleh-boleh saja kita memberikan alasan bahwa penyakit katastropik tertentu yang dilakukan "cost sharing" oleh peserta adalah akibat "kesalahannya" sendiri, misalnya meskipun sudah dilarang bahwa merokok dapat membahayakan diri sendiri dan menyebabkan penyakit berat, namun kenapa peserta tetap merokok secara aktif. Akan tetapi bukankah hal ini menjadi ironi, karena jika hal tersebut dilarang kepada peserta, kenapa Pemerintah tetap memberikan ijin rokok terus diproduksi dan didistribusikan? 

Jika Pemerintah tetap mengijinkan hal tersebut, bukankah juga Pemerintah harus bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkannya dan bukan lepas tangan dan seolah-olah menyalahkan kepada para perokok aktif tersebut? Nah, fenomena ini haruslah dicermati dan menjadikan salah satu fakta sebelum sesuatu kebijakan atau perubahan kebijakan diambil.

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa di negara lain yang terlebih dahulu melakukan dan sampai saat ini menjalankan sistem asuransi kesehatan nasional, tetap ada "cost sharing" untuk syarat atau kondisi tertentu. Ya benar, tetapi bukankah di negara tersebut sistemya bukanlah suatu kewajiban atau wajib semua warga negaranya ikut, apabila tidak maka akan mendapat perlakuan tertentu baik secara administratif maupun aturan publik kepada yang tidak ikut. Dengan kata lain, mereka menerapkan "cost sharing" tetapi tidak "memaksakan" atau mewajibkan seluruh warga negaranya untuk ikut asuransi kesehatan Pemerintah.

Sebenarnya permasalahan program JKN ini kembali lagi kepada permasalahan di hulunya. Yaitu kepantasan premi atau iuran yang layak untuk masing-masing kelas perawatan atau kelas sosial masyarakat. DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) maupun berbagai pakar akademik dan konsultan asuransi kesehatan di Indonesia, telah memberikan berbagai pendapat dan telaah, bahwa saat ini premi atau iuran tersebut masih di bawah dari ideal, kecuali untuk peserta mandiri kelas satu. 

Dalam artian, masih tidak akan sesuai dengan biaya yang akan dikeluarkan jika program dijalankan. Berarti setiap tahun anggaran berjalan, secara aktuaria sudah dapat dipastikan bahwa dengan sistem iuran atau premi di atas akan menimbulkan defisit. Itu hal yang pertama, hal yang kedua adalah tidak sesuainya ("mismatch") antara jumlah peserta aktif dengan dana yang terkumpul. Berarti disini adalah adanya ketidaktaatan atau keterlambatan membayar iuran oleh peserta ataupun oleh stakeholder yang menanggung iuran peserta (misalnya Pemerintah Daerah atau Perusahaaan baik swasta maupun BUMN).

Dengan melihat permasalahan di hulu tersebut, maka jika tidak ada perbaikan, maka kekeruhan di hilir akan terus terjadi. Apapun upaya yang diambil, alangkah eloknya untuk membenahi masalah di hulu terlebih dahulu. Sehingga dengan demikian, jangan lagi rakyat atau peserta JKN yang harus menanggung konsekuensi dan akibat dari "mismanagement" ini. Semua stakeholder harus ikut bertanggungjawab untuk bersama-sama mencari solusi tanpa mengorbankan tenaga medis/ tenaga kesehatan maupun peserta JKN itu sendiri. Presiden, DPR, BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Kementerian terkait, Pemerintah Daerah, pengelola usaha baik Swasta maupun BUMN, tenaga medis/ tenaga kesehatan dan tentu saja seluruh rakyat Indonesia.

Semoga keputusan yang akan diambil merupakan sesuatu yang baik dan tidak melanggar asas gotong-royong, keadilan dan kepantasan dan karena begitu pentingnya masalah ini maka alangkah eloknya Presiden haruslah yang menjadi penentu kebijakan "cost sharing" oleh peserta JKN bagi beberapa penyakit katastropik ini. Negara yang besar adalah negara yang menghargai dan mencintai rakyatnya.

James Allan Rarung
Praktisi Kesehatan dan Magister Manajemen

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun