Mohon tunggu...
Jamesallan Rarung
Jamesallan Rarung Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Kampung dan Anak Kampung

Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Magister Manajemen Sumber Daya Manusia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dokter Umum versus Dokter Layanan Primer (DLP)

8 Desember 2015   21:57 Diperbarui: 31 Agustus 2016   10:05 8631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Perbedaan pendapat sangat kuat terjadi antara para pendukung DLP dan yang menolak DLP. Kelompok yang menolak DLP ini dipimpin oleh Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), sedangkan yang mendukungnya kebanyakan adalah para petinggi Kementerian Kesehatan. Titik temu antara para pendukung dan yang menolak sulit ditemukan, sehingga hal ini selain membuat terjadinya perdebatan di ruang publik dan media, juga menyebabkan terjadinya "gugatan" secara hukum perundang-undangan.

"Dokter layanan primer adalah upaya pemerintah untuk menguatkan sistem pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan primer. DLP tetap bekerja di fasilitas layanan primer dan sifatnya tidak wajib," kata Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri pada seminar media "Dokter Layanan Primer, Mengapa Harus Ada di Indonesia" di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. (Kompas, Rabu 18/11/2015)

Dengan demikian, nantinya pada tingkat layanan primer misalnya di Puskesmas nanti akan ada dua tenaga dokter yang akan bekerja, yaitu dokter umum dan DLP. Hal ini tentunya membutuhkan aturan yang jelas dan tegas tentang kewenangan masing-masing, sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau saling berebutan.

Memang konsep DLP ini, jika tujuannya adalah untuk menekan angka kesakitan dan kematian termasuk menekan tingginya jumlah rujukan pasien dari fasilitas primer ke RS adalah sangat bagus. Oleh karena jika kita mampu memilah kasus dan tidak langsung merujuk, maka hal ini tentunya akan mengurangi beban biaya jika pasien nanti dirawat di RS.

 "Selama ini angka rujukan masih tinggi karena kompetensi dokter di layanan primer masih perlu ditingkatkan sehingga mampu mendeteksi 144 penyakit yang harus bisa ditangani di layanan primer," kata Akmal Taher, Staf Ahli Menteri Kesehatan. (Kompas, Rabu 18/11/2015)

Sedangkan para dokter umum yang tergabung dalam PDUI menolak pendapat tersebut, dengan beranggapan bahwa selama pendidikan dokter umum materinya sudah sangat banyak mengandung tatacara pengelolaan penyakit di fasilitas kesehatan primer. Apalagi sebelum mendapat ijin praktek mandiri, semua lulusan fakultas kedokteran harus menjalani masa internsip kurang lebih setahun yang notabene tempat pelayanan mereka adalah di fasilitas yang banyak melayani kasus-kasus layanan primer. Begitu juga setelah masa internsip selesai banyak sekali dokter yang bekerja di Puskesmas dan Klinik Pratama, yang juga jelas-jelas merupakan fasilitas layanan primer.

Para dokter umum yang sementara dan sudah pernah bekerja di Puskesmaspun makin menegaskan dan mengatakan, bahwa masalah kurang baiknya penanganan 155 penyakit yang tergolong layanan primer bukanlah karena kemampuan para dokter umum yang kurang, akan tetapi oleh karena ketidakmampuan Pemerintah dalam menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai, termasuk alat pemeriksaan kesehatan dan laboratorium serta obat-obatan yang cukup, dimana itemnya mencakup kebutuhan 155 penyakit tersebut. Bahkan ada yang dengan tegas mengatakan bahwa sekalipun dokter superspesialis melayani di fasilitas layanan primer dan kemudian berhadapan dengan penyakit sesuai spesialisasinyapun takkan bisa memeriksa dan mengobati penyakit tersebut, jika alat dan obatnya pas-pasan atau bahkan tidak ada. Jadi permasalahannya bukanlah terletak pada dokternya, akan tetapi kepada sarana penunjang dan obat-obatan yang tersedia. Nah, dalam hal ini jelas yang memiliki masalah adalah Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dimana merekalah yang bertugas dan memiliki tanggungjawab untuk menyediakan sarana-prasarana serta obat-obatan yang cukup dan sesuai kebutuhan. Janganlah karena ketidakmampuan penanganan masalah tersebut, maka kemudian Kemenkes mengalihkan kesalahan kepada kemampuan para dokter umum ini, dengan menganggap kemampuan  mereka masih kurang dalam hal penanganan masalah layanan primer, sehingga oleh karena itu maka sangat segera dibutuhkan dokter (spesialis) layanan primer ini.

Pengurus Pusat PDUI kemudian mengajukan Judicial Revieuw kepada Mahkamah Konstitusi (MK) R.I. Mereka mempersoalkan kurang lebih 15 pasal dalam UU Pendidikan Kedokteran, yaitu yang terkait dengan uji kompetensi, sertifikasi kompetensi, dan dokter layanan primer. Mereka beranggapan bahwa pasal-pasal yang tercantum dalam UU tersebut menghambat dan melanggar akses pelayanan dokter umum yang bekerja di fasilitas primer. Kemudian yang mereka takutkan adalah nantinya setelah adanya DLP di fasilitas primer (Puskesmas/ Klinik Pratama), maka pekerjaan mereka akan diambil alih oleh DLP, begitu juga yang mereka kuatirkan bahwa nantinya pihak BPJS Kesehatan hanya akan mempekerjakan para DLP dan tidak memakai lagi para dokter-dokter umum ataupun kalau tidak BPJS Kesehatan hanya akan membayar mahal kapitasi DLP sedangkan dokter umum akan dibayar murah dan sulit untuk meminta kenaikannya nanti.

Selain itu merekapun berpendapat bahwa pada pasal 36 UU tersebut menyebutkan bahwa seorang dokter sebelum diangkat sumpah haruslah memiliki sertifikat uji kompetensi yang dikeluarkan perguruan tinggi kedokteran atau kedokteran gigi bekerjasama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Aturan itu memunculkan dualisme lembaga penyelenggara uji kompetensi dokter. Menurut PDUI uji kompetensi dokter dan sertifikasi kompetensi dokter sebenarnya wewenang dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) oleh karena kolegium pendidikan profesi kedokteran baik dokter dan dokter spesialis adalah di bawah IDI. Jadi, mereka menegaskan bahwa untuk membuka pendidikan profesi, agar supaya diakui dan diterima oleh dokter di Indonesia maka harus memiliki kolegium, yang notabene adalah bagian dari organisasi profesi itu sendiri.

Sedangkan menurut ahli dari Pemerintah Budi Sampurna mengatakan, “Aturan itu sesungguhnya untuk melindungi masyarakat dengan pelayanan dokter yang berkualitas". Dimana pembentukan DLP ini semata-mata untuk meningkatkan kompetensi dokter sebagai alternatif jenjang karier profesi dokter sesuai Pasal 7 ayat (5) UU Pendidikan Kedokteran. DLP ini merupakan kelanjutan dari program profesi dokter yang jenjangnya setara dengan dokter spesialis, sehingga profesi dokter itu tidak hilang. Nanti profesi dokter itu, kariernya bisa dibentuk menjadi pendidik, DLP, spesialis, atau peneliti,” ujarnya dalam sidang lanjutan pengujian UU Pendidikan Kedokteran di gedung MK. (Hukumonline, Selasa 03/02/2015)

Kalau dipelajari lebih dalam dan seksama memang pelaksanaan uji kompetensi dalam UU Pendidikan Kedokteran belumlah diatur secara rinci. Oleh karena hal tersebut maka kemudian Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengeluarkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (Perkonsil) No. 10 Tahun 2012 tentang Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia dan Perkonsil No. 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang di dalamnya sudah menjelaskan dan mengatur tentang kompetensi yang harus dikuasai DLP. Diharapkan dengan adanya aturan yang jelas tersebut, maka akan mudah untuk melaksanakan uji kompetensi.

Hal lain yang dikuatirkan oleh para dokter umum adalah tentang masalah pendidikan lanjutan tersebut. Menurut mereka lama pendidikan sarjana kedokteran, ditambah program profesi dokter dan internsip totalnya rata-rata 7-8 tahun. Bagaimana lagi kalau ditambah sekolah 2 tahun, lalu kapan mereka akan praktek nantinya. Belum termasuk biaya hidup, transportasi dan keluarga mereka jika melanjutkan pendidikan DLP. Kenapa tidak dibiarkan saja seperti saat ini, dimana mereka sudah bekerja dengan baik dan jika ada kekurangan, toh mereka dapat menutupinya dengan pelatihan dan pendidikan dokter berkelanjutan. Mereka juga mengatakan bahwa pengetahuan dan pengalaman mereka mendiagnosis dan mengobati penyakit-penyakit di layanan primer sebenarnya bukanlah kurang, akan tetapi faktor sarana-prasarana serta sosio-demografilah yang sering menyulitkan, belum lagi ditambah dengan kekurangan tenaga kesehatan dan obat-obatan, hal itulah yang akhirnya menyebabkan masih kurangnya mutu pelayanan di beberapa daerah tertentu.

Adapun Gandes Retno Rahayu Dosen FK UGM yang berperan sebagai ahli dari Pemerintah mengatakan, “Sebenarnya sebagian besar (sumber penyakit) ada di komunitas, sehingga layanan di komunitas ini perlu dikuatkan. Jadi, penguatan layanan primer ini menjadi penting agar tingkat kesehatan masyarakat lebih baik, pelayanan kesehatan lebih terkendali, dan ada peningkatan kesetaraan pelayanan kesehatan,” katanya. (Hukumonline, Selasa 03/02/2015)

Akhirnya setelah melalui beberapa persidangan, maka pada Senin, tanggal 7 Desember 2015. Kesembilan Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Arief Hidayat, dengan anggota Anwar Usman, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Patrialis Akbar, Aswanto, Suhartojo dan I Dewa Gede Palguna memutuskan bahwa menolak permohonan pemohon (perwakilan PDUI) untuk seluruhnya.

Dengan demikian, babak baru antara yang menerima dan menolak  adanya pendidikan (spesialis) DLP telah dimulai. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) selaku induk semangnya PDUI melalui keputusan Muktamar Medan November 2015 membawa amanat untuk menolak adanya pendidikan dan pembentukan kolegium DLP. Sedangkan Kementerian Kesehatan membawa hasil keputusan Mahkamah Konstitusi R.I.

Semoga apapun yang nantinya akan terjadi ke depan, kesemuanya itu semata-mata hanya untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia dan juga kepentingan seluruh dokter Indonesia yang juga menjadi bagian dari rakyat Indonesia itu sendiri. Indonesia adalah bangsa yang besar dan beradab, jiwa arif dan bijaksana adalah warisan luhur para nenek moyang kita. Semoga keputusan apapun ke depan selalu berlandaskan kebijaksanaan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa. Bravo!

 

 

 Ilustrasi

James Allan Rarung

Insan Dokter Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun