Mohon tunggu...
Jamaludin Law
Jamaludin Law Mohon Tunggu... -

Sederhana yang bukan biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sengketa Pilkades, Mau Curhat ke Mana ?

17 September 2012   11:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:20 3237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pilkades kab.bekasi

Minggu tanggal 9 september yang lalu, telah sukses di laksanakannya Pemilihan Kepala Desa pada 147 desa di wilayah Kabupaten Bekasi, hiruk pikuk kegembiraan, kesenangan dan kepuasan sangat terlihat jelas pada senyuman para kader dan calon terpilih , bahakkan tawa di iringi gelegar miniatur Bom alias petasan yang katanya berdaya ledak rendah namun cukup membuat kaget juga, menandakan kemenangan dan final proses yang begitu panjang melelahkan, bukti telah sukses bermain pada sisi perasaan sensitif yang buta dan minim logika.bersambut dengan itu, kesedihan, kehampaan, bahkan lesu seolah tanpa harapan nampak secara samar dari para kader dan calon yang kurang beruntung untuk terpilih.

Proses itu, bukan tidak mengorbankan harga? Harga sebuah persaudaraan, harga sebuah pemikiran kritis, harga sebuah komitmen, dan harga-harga lainnya dari yang tidak berharga hingga yang tak ternilai harganya, telah habis tergadai dengan yang namanya dukungan buta, pemahaman pragmatis bahwa kandidat yang saya dan kami dukung adalah segalanya, dan segalanya hanya untuk kemenangan. Walau dengan apapun caranya. Ber alih-alih Demokrasi sebagai muara pembenaran, yang sebenarnya tidak satupun saat ini manusia yang dapat mendemonstrasikan kebenaran yang di anggap absolut itu sebagai suatu cara apalagi solusi.

Warisan permasalahan dari proses pesta singkat yang melelahkan itu masih banyak meninggalkan jejak pekerjaan rumah yang mau tidak mau menyita perhatian untuk sekedar menggelitik pikiran kritis, tentunya bagi mereka yang rajin berfikir, namun tidak bagi sebagian orang yang menganggap sebatas angin dan bau anyir lewat, hinggap sebentar tanpa meninggalkan bekas pada hidung dan telinganya karena terkoneksi dengan memory tertanam di otak dengan satu perintah hanya sebatas mencukupi dari harga sebuah isi perut. miris tapi banyak juga yang bangga.

Seperti biasa saya menulis sebuah topik bukan karena sebab, tapi merupakan sebuah hasil sharing serius dari salah satu calon yang kebetulan kurang beruntung untuk memenangkan ajang tersebut dari desa tetangga, namun masih menyisakkan permasalahan yang sangat serius, bukan karena harta benda, kehormatan, pertaruhan gengsi, namun permasalahan dalam akumulasi wujud yang namanya perkara hukum, namun bukan bentuk perkaranya yang saya coba sentuh dalam tulisan ini, akan tetapi bagimana penyelasaian secara hukum dari segala bentuk perkara hukum yang timbul dari proses pemilihan kepala desa ini, sebelum panjang lebar penulis membahas permasalahan ini perlu di garis bawahi bahwa penulis bukanlah orang yang pakar dalam bidang hukum, namun hanya sebatas orang yang selalu belajar terutama dalam bidang hukum, singkat kata penulis tidak menyuguhkan kebenaran absolut, dan selalu menerima masukkan,dan berusaha untuk tidak anti kritik.

Sebagaimana yang telah saya singgung di atas bukan hanya proses pemilihan kepala desa yang mempunyai resiko bersinggungan dengan hukum, setiap kegiatan, pekerjaan bahkan pemikiranpun pasti bersinggungan dengan hukum, karena kita sekalian adalah bagian dari objek hukum itu sendiri.

lantas kemudian bagaimana jika dalam proses yang kita sebut pemilihan kepala desa tersebut meninggalkan dan menimbulkan permasalahan hukum ?, bagaimana penyelesaiannya ?, dan siapa yang mempunyai kewenangan dalam menyelesaikan serta memutuskan perkara seputar sengketa atau perkara yang timbul dari proses pemilihan kepala desa ini ?. Di sini Penulis akan mencoba untuk memaparkan lebih serius sebatas pemahaman yang tentunya sangat terbatas.

Pemilihan kepala desa (pilkades) termasuk salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Pengaturan penyelenggaraan pemilihan kepala desa secara garis besar ditentukan dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah, di Kabupaten bekasi kita mengenal PERDA No.5 tahun 2006 tentang tata cara pemilihan Kades, pemberhentian dan pelantikkannya .

Pada Pasal 203 UU 32/2004 menentukan :

  1. Kepala desa dipilih oleh dan dari penduduk desa warga Negara RI yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur dengan peraturan daerah yang berpedoman kepada peraturan pemerintah;

  2. calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai Kepala desa

  3. pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pemerintahan kabupaten Bekasi mengesahkan dan memberlakukan Peraturan Daerah nomor 5 tahun 2006 tentang tata cara pemilihan Kades, pemberhentian dan pelantikkannya. Peraturan daerah ini menjadi pedoman bagi penyelenggara pemerintahan desa di lingkungan Kabupaten Bekasi, baik untuk bidang pemerintahan (bestuuring), pembuatan peraturan (regeling) maupun penyelenggaraan pemilihan kepala desa tersebut.

Berkaitan pemilihan kepala desa, khususnya untuk mengantisipasi munculnya sengketa sebagaimana tersebut di atas karena ada pihak yang merasa dirugikan pada pemilihan kepala desa, dan hal-hal yang mengatur lebih rinci mengenai penyelesaian sengketa tersebut tidak secara jelas di jelaskan pada Perda 5/2006 karena tidak bercerita secara gamblang bagaimana menangani dan menyelasaikan bilamana terjadi perkara dari sengketa pilkada tersebut. Dalam permasalahan ini ada issue hukum yang ingin penulis paparkan secara singkat yaitu mengenai lembaga mana yang berhak untuk mengadili, dan menyelesaikan sengketa tersebut.

Membahas sengketa dan penyelesaiannya berarti mengkaji peradilan dengan kompetensinya. Untuk ini perlu dipahami, lembaga peradilan manakah yang berwenang mengadili sengketa pilkades. Hal ini penting dipahami, agar upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan tidak menjadi sia-sia.

Mengenai kewenangan, kita dapat memulai dari kewenangan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan amandemen UUD 1945 jo. UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung membawahi empat lingkungan peradilan, yaitu:

Lingkungan Peradilan Umum yang terdiri dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, berwenang menangani sengketa keperdataan dan perkara pidana. Hukum materiil yang berlaku dalam lingkungan peradilan ini adalah hukum perdata dan hukum pidana.

Lingkungan Peradilan Agama yang terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, mengadili perkara keperdataan bagi warga Negara yang beragama Islam, dengan hukum materiil Kompilasi Hukum Islam.

Lingkungan Peradilan Militer yang terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer Pertempuran, mengaili perkara yang pelakunya militer, dengan hukum materiil hukum yang berlaku bagi Anggota Militer.

Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang terdiri dari Pengadilan tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, mengadili sengketa Tata Usaha Negara, hukum materiilnya adalah hukum di bidang penyelenggaraan pemerintahan.

keempat lingkungan peradilan tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untukmenguji undang-undang terhadap undang-undang dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Pertanyaan selanjutnya berwenangkah lembaga Peradilan tersebut menangani sengketa pilkades?

Ini sebenarnya inti dari tulisan ini, kompetensi peradilan terhadap sengketa pemilihan kepala desa menjadi pertanyaan utama kajian ini. Ketika penyelesaian pada panitia pilkades tidak diterima oleh para pihak, perda tidak memberikan alternative upaya penyelesaian. Apabila ada pihak yang mengajukan ke peradilan, lembaga peradilan yang dituju pun tidak ada. Mengapa tidak ada lembaga peradilan yang dapat menanganinya ?, alasannya adalah sbb:

kewenangan peradilan umum adalah sengketa perdata dan perkara pidana, dengan hukum materiil hukum perdata dan hukum pidana. Memang berlaku asas hakim dilarang menolak perkara, akan tetapi asas ini berlaku khususnya apabila datang kepadanya perkara perdata. Pemilihan Kepala Desa bukan perkara perdata, dan belum tentu mengandung unsur pidana. Kalaupun mengandung unsur pidana, kewenangan peradilan, dalam hal ini pengadilan negeri bukan karena perkara sengketa pilkades itu, tetapi karena perbuatan yang diadili memenuhi kriteria dalam hukum pidana.

kewenangan peradilan tata usaha Negara adalah sengketa tata usaha Negara, yaitu sengketa antara badan atau pejabat tata usaha Negara dengan orang atau badan hukum perdata akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara.

Sedangkan pada pemilihan kepala desa, tidak dapat dikategorikan sengketa Tata Usaha Negara, mengapa demikian menurut saya, :

pertama pemerintah dalam hal ini Camat/pejabat dari Kecamatan dan/atau atas nama Pemerintah Kabupaten/Kota dan jajarannya lazimnya tidak mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara.sedangkan Keputusan Bupati berkait dengan pilkades baru dikeluarkan apabila segala persoalan yang berkait dengan pilkades sudah selesai.

Kedua, apabila yang digugat adalah Panitia Pilkades, atau Panitia Pilkades dianggap mengeluarkan keputusan yang merugikan. Pertanyaanya, apakah Panitia pilkades merupakan badan TUN ? Pada UU 5/86 tentang PTUN menentukan yang dimaksud badan/pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu yang dapat dikategorikan badan/pejabat tata usaha Negara antara lain adalah apabila menjalankan urusan pemerintahan, termasuk obyek hukum administrasi. Sedangkan Panitia Pilkades tidak menjalankan urusan pemerintahan tetapi melakukan tugas menyelenggarakan pemilihan kepala desa tersebut. Proses Pemilihan Kepala Desa, merupakan bagian dari pemilihan umum, merupakan bahasan dalam literature hukum tata Negara.

Ketiga, karena Panitia Pilkades bukan badan/pejabat Tata Usaha Negara, maka tidak menghasilkan keputusan yang bersifat konkrit, individual dan final. Panitia Pilkades tidak memutuskan hasil pemilihan, tetapi sebatas melaporkan hasil penyelenggaraan pilkades dalam berita acara pemilihan beserta lampiran-lampiran sebagai bukti penjelasnya. Bukan menentukan siapakah yang terpilih menjadi kepala desa, karena terpilih tidaknya kepala desa tergantung pada warga bukan Panitia. Sedangkan yang mengesahkan jadi tidaknya calon terpilih menjadi kepala desa adalah Bupati dengan Keputusan yang menetapkan Kepala Desa terpilih sebagai kepala desa (definitive). Dengan demikian sudah jelas PTUN pun bukan peradilan yang berwenang mengadili sengketa pilkades. Apabila demikian, mungkinkah sengketa Pilkades merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi? Nampaknya, pada mahkamah konnstitusi pun sengketa pilkades tidak dapat di tampung, meski apabila dicermati, kewenangan lembaga ini terutama adalah persoalan ketatanegaraan. Alasannya,

pertama, secara normative, apakah mungkin perda menentukan kewenangan Mahkamah Konstitusi?

Mahkamah Konstitusi dibentuk atas perintah Undang-undang Dasar dan berdasarkan Undang-Undang, sedangkan Peraturan Daerah dibentuk atas perintah Undang-undang. Tidak logis peraturan yang lebih rendah mengatur yang lebih tinggi.

Kedua, salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah menyelesaikan sengketa hasil pemilu. Pemilu yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD, serta Pemilihan Presiden dan Wapres (pasal 74 UU 24/2003). Pemilihan Kepala Desa, juga Pemilihan Kepala Daerah bukan termasuk di dalamnya tetapi diatur tersendiri. Ketiga, secara empiris, bagaimana mungkin Mahkamah Konstitusi mampu apabila harus menyelesaikan sengketa pemilihan kepala desa, sedangkan jumlah desa/atau disebut dengan nama lain di seluruh wilayah Indonesia amat banyak, sedangkan jumlah hakim Mahkamah Konstitusi amat terbatas.

Di awal saya sudah mengatakan bahwa berakhirnya pemilihan Kepala Desa secara serentak beberapa desa di Kabupaten Bekasi, menyisakkan pekerjaan rumah yang sangat butuh keseriusan bagi para steakholder di Kabupaten Bekasi, jangan sampai terkesan menggiring masyarakat kabupaten Bekasi utntuk melakukan pekerjaan yang penuh resiko namun tidak ada jaminan keselamatan, lebih-lebih kepada para calon yang ikut serta pada pemilihan, karena sudah menjadi maklum dampak sosiologis dari proses ini yang telah saya tulis di artikel sebelumnya : “Pilkades : sketsa demokrasi antara budaya jahil dan pendidikan”.

Sudah saatnya pemerintahan Kabupaten Bekasi, mengelola, dan menyususun secara preventif atas masalah yang timbul dari kegiatan yang rutin di lakukan selama 6 tahunan ini. Harus di sempurnakan perda tersebut agar lebih terinci bilamana terjadi sengketa.

Selanjutnya menjadi tantangan kita bersama, selalu berfikir keras untuk mewujudkan kondisi ideal walupun cuma lewat gagasan, bilamana kita mempunyai kekuatan dan kekuasaan tinggal dengan mudah kita panggil memory ini.

Salam.

* mohon ma'af jika menggangu wall dan pikiran anda, tulisan ini semata-mata hanya untuk menambah bahan sharing kita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun