Mohon tunggu...
Jamaluddin Mohammad
Jamaluddin Mohammad Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bekerja di Komunitas Seniman Santri (KSS) - Tak pernah berhenti belajar: belajar melihat, belajar mendengar, belajar merasakan, dan belajar menunda penilaian.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ilusi dan Delusi

18 Januari 2017   16:06 Diperbarui: 18 Januari 2017   16:10 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian masyarakat mengidap sebuah “gangguan kejiwaan” berupa ilusi dan delusi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ilusi diartikan sebagai: “sesuatu yang ada hanya dalam angan-angan atau hayalan; pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan; tidak dapat dipercaya; palsu”. Singkatnya, ilusi adalah persepsi yang salah terhadap sesuatu. Sedangkan delusi adalah “pikiran atau pandangan yang tidak berdasar atau pendapat yang tidak sesuai dengan kenyataan”. Ilusi dan delusi disebut “penyakit” atau “gangguan” kejiwaan karena jika terus dipelihara di dalam pikiran maka akan berbahaya dan merusak “akal sehat” (rasionalitas)

Belakangan kedua penyakit itu sedang menjangkiti sebagian masyarakat. Yang terbaru masyarakat dihebohkan dengan tanda palu arit yang ada di lembaran uang kertas terbitan BI (Bank Indonesia). Mereka menganggap kemunculan palu arit (lambing PKI) ini adalah pertanda bangkit kembalinya PKI (partai komunis Indonesia). Anehnya, kedua isu yang dibangun berdasarkan ilusi dan delusi ini (lambang palu arit dan kebangkitan komunisme) begitu cepat merebak di masyarakat dan segera ditanggapi pejabat BI dan pihak kepolisian.

Kita tahu bahwa hologram pengaman (rectoverso) pada uang kertas itu sebetulnya sudah ada sejak dulu. Itu sebagai tanda pengaman uang agar tidak mudah dipalsukan. Sebelum muncul isu ini, masyarakat didera isu kebangkitan komunis (PKI). Komunis(me) adalah salah satu ideologi terlarang di negeri ini. Ideologi yang melahirkan Partai Komunis ini telah beberapa kali melakukan pemberontakan terhadap Negara, tapi selalu gagal dan berhasil dipatahkan. Terakhir rencana kudeta tahun 1965 dan berakhir tragis: pembantaian besar-besaran terhadap pengikut partai ini dan akhirnya dilarang pemerintah (Orba).

Belakangan, korban 1965 yang dituduh PKI atau simpatisan PKI ini menuntut keadilan dan mengajukan kasus ini ke Pengadilan Internasional di Denhag – Belanda. Mereka menuntut ganti rugi dan dipulihkan nama baiknya. Mereka tidak melakukan pemberontakan. Mereka hanyalah korban dari situasi dan pertarungan politik saat itu. Setidaknya, itulah beberapa alasan mereka menuntut keadilan dan “pembersihan sejarah”.

Mungkin, oleh beberapa kalangan, peristiwa ini dimaknai sebagai kebangkitan kembali komunisme. Mereka ingin kembali hadir dan diakui di negeri ini. Kekhawatiran ini muncul terutama di kalangan TNI dan rival politik PKI waktu itu (kelompok/ormas islam). Ini semacam “dendam lama” yang tumbuh kembali. Kita tahu bahwa dalang pembantaian PKI diduga kuat dimobilisir oleh TNI (angkatan darat) dengan memanfaatkan orang-orang muslim yang sejak lama berseteru dengan PKI (pertarungan ideologi).

Benarkah PKI bangkit kembali? Inilah delusi yang menghinggapi sebagian masyarakat kita. Sejak runtuhnya Uni Soviet, komunisme nyaris bangkrut dan kehilangan pengikut. Negara-negara satelit yang berkiblat pada Uni Soviet mulai “banting setir” atau merubah orientasi ideologi politiknya. Begitu juga di negeri kita, sejak dibantai habis Orba, keberadaan komunisme antara hidup dan mati. Sebagai sebuah paham atau “isme”, komunisme di negeri ini sudah mati. Hanya saja hantunya masih bergentayangan menghantui orang-orang yang dulu memusuhinya. Nah, hantu inilah yang menciptakan delusi tentang kebangkitan PKI dan munculnya ilusi lambing palu arit di uang kertas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun