Sukarno dan Hatta berperan "di dalam": melakukan kerjasama dengan Dai Nippon. sementara Syahrir diposisikan "di luar": menghimpun, mengorganisir, dan memimpin para pemuda melakukan revolusi.
Film ini mereduksi fakta sejarah keterlibatan tokoh-tokoh lain dalam proses kemerdekaan Indonesia. saya tidak melihat peran Tan Malaka, Kiai Wahid Hasyim, Yamin, Agus Salim, Supomo dll yang sumbangannya untuk negeri ini tidak kecil. Sebelum Sukarno menulis Risalah "Mencapai Indonesia Merdeka" (1933), Tan Malaka sudah menulis buku "Menuju Republik Indonesia" (1925).
Kedua, hampir 1/3 Film ini dihabiskan untuk menceritakan kehidupan keluarga Sukarno, terutama ketika ia jatuh cinta pada Fatmawati dan pertengkarannya dengan Inggit yang berujung pada perceraian. Memang tidak ada yang salah. Apalagi Film ini secara khusus memotret kehidupan pribadi Sukarno. Namun, sayang saja ketika harus menghilangkan momen-momen penting lainnya yang seharusnya ditampilkan di Film ini.
Ketiga, peristiwa Rengasdengklok yang oleh kebanyakan sejarawan dianggap tonggak penting sejarah kemerdekaan Indonesia, dalam Film ini digambarkan biasa-biasa saja dan seolah tak menghasilkan apa-apa. Pemuda-pemuda cerdas, pemberani, dan revolusioner yang menculik Sukarno-Hatta malah dicitrakan sebagai pemuda-pemuda culun, lugu, dan lucu.
Film ini cukup berhasil mengangkat kehidupan dan perjuangan Sukarno dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, namun masih banyak yang perlu diluruskan agar tak dimakan mentah-mentah oleh generasi muda kita. Daripada Film Kuntilanak dan sejenisnya, saya senang masih ada sutradara seperti Hanung Bramantyo di negeri ini....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H