Mohon tunggu...
Jamaluddin Mohammad
Jamaluddin Mohammad Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bekerja di Komunitas Seniman Santri (KSS) - Tak pernah berhenti belajar: belajar melihat, belajar mendengar, belajar merasakan, dan belajar menunda penilaian.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pernikahan Kilat ala Bupati Garut

6 Desember 2012   19:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:05 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang ulama Arab Wahabi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dalam sebuah Blognya mengeluarkan semacan Fatwa tentang Kawin Kontrak. Istilah mereka“nikah bisyarti talak[nikah dengan syarat talak]. Nikah bisyarti talak adalah akad nikah yang dilakukan seseorang dengan niat suatu saat dia akan menceraikannya. Berbeda dengan nikah mut’ah, nikah bisyarti talak batas waktunya tak disebutkan di dalam akad. Akad nikahnya dilakukan seperti biasa [mengikuti syarat-rukun nikah].

Sejenis dengan nikah bisyarti talak adalah nikah misyar. Yaitu akad nikah [memenuhi syarat-rukun nikah] yang di dalamnya seorang suami mengajukan syarat-syarat tertentu, seperti tak mau menginap di rumah istrinya atau menolak memberi nafkah pada istrinya.

Model pernikahan seperti ini, menurut mereka, dibenarkan syariat, karena sudah memenuhi syarat-rukun nikah [menghadirkan wali, saksi, ijab-qabul, dll]. Mereka menolak disebut nikah mut’ah [kawin kontrak] karena batas waktunya tak disebutkan dan tak ditentukan di dalam akad, semisal satu bulan, setahun, dst. Juga dilakukan atas dasar kesadaran dari kedua belah pihak [suami-istri].

Pantas saja banyak orang Arab hobi kawin kontrak di Puncak. Rupanya, mereka mendapat pembenaran secara teologis dari ulama-ulamanya. Inilah bentuk legalisasi perzinahan yang mendapat persetujuan agama. Cara pandang seperti ini timbul karena hanya bertumpu pada syariat, tapi mengabaikan maqasid al-syariat [tujuan syariat], yaitu kemaslahatan. Terutama kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Mereka hanya berpondasikan teks dengan mengabaikan konteks [realitas]. Akibatnya, agama terasa kering wibawanya dihadapan realitas.

Sesat PikirFatwa Wahabi!

Menurut para ulama, tujuan nikah ada tiga (maqasid al-nikah tsalasah): pertama, menjaga keturunan (hifdzu al-nasal); kedua, mendistribusikan sperma yang apabila terus ditimbun dalam tubuh maka akan membahayakan (ikhraj al-ma’ alladzi yadurru ihtibasuhu fi al-badan); dan ketiga, menyalurkan kebutuhan biologis, rekreasi (nailu al-ladzzat). (Abi Bakr bin Syato’, Ianah al-Tholibin, hal 295 vol III).

Pertama, nikah adalah tugas kehidupan (khifdzu al-nasal). Yaitu menjaga kehidupan manusia dari kepunahan. Karena itu, nikah butuh komitmen dan tanggung jawab dari kedua belah pihak: mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak. Tanpa komitmen dan tanggung jawab dari kedua belah pihak [suami-istri], salah satunya pasti dirugikan. Contohnya anak hasil perselingkuhan, pemerkosaan, atau seks pra nikah. Yang dirugikan, biasanya, adalah perempuan. Kebanyakan, laki-lakinya akan minggat cari selamat!

Kedua, mungkin ini berhubungan dengan alasan medis. Sperma [bagi laki-laki] harus didistribusikan dengan teratur dan benar agar menjaga kesehatan tubuh. Karena itu, menurut kaca mata medis, berhubungan seks baik untuk kesehatan.

Dan ketiga, tak dapat dipungkiri bahwa manusia butuh seks, rekreasi [nailu al-ladzat]. Seks termasuk kebutuhan dasar manusia. Agama menyediakan manusia untuk menyalurkan kebutuhan dasarnya ini melalui pernikahan.

***

Fatwa ini telah mereduksi tujuan dan arti penting pernikahan [maqasid al-nikah] hanya sebatas pada pemenuhan hasrat seksual [nailu al-ladzat]. Akibatnya, manusia direduksi sebatas “mesin hasrat” dengan mengabaikan norma dan moralitas kemanusiaan.

Sebagai lelaki yang memiliki hasrat seksual tinggi, saya senang dengan fatwa ini. Tentunya, Bupati Garut, Aceng, pasti akan menyambut baik dan pasti kawin lagi begitu mendengar fatwa ini.Tanpa adanya fatwa ini saja, banyak orang, secara diam-diam, mempraktikkan model kawin kontrak ini, apalagi sampai dilegalkan. Saya kira, dalam pengambilan sebuah keputusan hukum, nurani juga perlu dilibatkan. Jangan seperti Arab Badui itu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun