Berbagai polemik seputar Ujian Nasional (UN) kembali mencuat setelah rencana pemberlakuan sistem ujian terpusat ini dikabarkan akan muncul lagi. Pergantian kebijakan dari semula meniadakan UN menjadi asesmen sekolah, kemudian berpotensi menghadirkan UN sebagai penentu kelulusan, memunculkan pertanyaan fundamental. Proses evaluasi seperti apa yang sebenarnya diinginkan oleh pemerintah dan masyarakat pendidikan?
Kebijakan UN pernah lama dijalankan di Indonesia sebagai bentuk evaluasi seragam untuk siswa di berbagai jenjang. Model ini berasumsi bahwa semua peserta didik, tanpa memandang kondisi daerah, kualitas guru, atau sarana prasarana, harus mencapai standar tertentu. Gagasan tersebut mengusung tujuan mulia, yakni memastikan bahwa siswa yang lulus dari jenjang pendidikan tertentu memiliki kompetensi minimal yang diharapkan. Namun, problematika di lapangan tidak sesederhana itu. Keragaman potensi daerah, kecukupan tenaga pengajar, serta infrastruktur pendidikan menjadi pertimbangan yang tidak bisa diabaikan.
Keragaman kompetensi guru dan fasilitas sekolah atau madrasah di berbagai wilayah Indonesia cenderung menyulitkan pelaksanaan UN sebagai penentu kelulusan. Sejumlah sekolah di pusat kota mendapat akses teknologi pendidikan yang memadai, sedangkan sekolah di daerah terpencil kerap berjuang memperoleh fasilitas dasar. Kondisi ini menciptakan jarak yang cukup besar dalam kemampuan siswa. Apalagi, kompetensi guru di daerah terluar sering terhambat oleh kurangnya pelatihan dan pendampingan. Situasi ini berakibat pada kesenjangan mutu pembelajaran sehingga evaluasi yang seragam menjadi tidak logis jika dipakai menentukan kelulusan.
Banyak kasus kecurangan dalam pelaksanaan UN di tahun-tahun sebelumnya memberi bukti kuat bahwa kebijakan ini kerap memunculkan efek distorsi pada moral pendidikan. Terdapat guru dan pihak sekolah yang rela menempuh jalan pintas demi menaikkan angka kelulusan. Praktik pemberian bocoran soal, manipulasi nilai, hingga pengerjaan secara kolektif adalah sekelumit bentuk adaptasi negatif terhadap tekanan "wajib lulus". Motivasinya adalah mempertahankan reputasi sekolah dan menghindari stigma gagal. Fenomena ini berbahaya karena berpotensi merusak integritas pendidikan lebih luas.
Aspek evaluasi yang ideal semestinya tidak menekankan kelulusan tunggal dalam bentuk angka tertentu, melainkan memotret pencapaian kompetensi siswa secara berkelanjutan. Pemanfaatan UN sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan bisa menjadi pilihan lebih moderat. Poin-poin lemah yang ditemukan dari hasil ujian dapat menjadi dasar penyusunan kebijakan lanjutan, seperti penambahan pelatihan guru, perbaikan kurikulum, atau peningkatan fasilitas penunjang belajar. Model seperti ini meminimalkan tekanan berlebih pada siswa, guru, dan sekolah, sehingga praktik kecurangan dapat ditekan.
Argumen yang mendukung kembalinya UN sebagai penentu kelulusan sering merujuk pada kebutuhan standar nasional. Penetapan skor minimal dipandang mampu mendorong sekolah untuk berbenah dan memastikan siswa mencapai kompetensi tertentu. Ide ini terdengar menjanjikan apabila seluruh daerah telah memiliki kemerataan akses pendidikan. Sayangnya, realitas menunjukkan ketimpangan sangat signifikan antara satu daerah dan daerah lain. Penggunaan nilai UN sebagai patokan kelulusan berisiko memunculkan angka ketidaklulusan tinggi di tempat yang kondisi pendidikannya tertinggal. Ujungnya, gap pendidikan semakin lebar, dan semangat pemerataan justru terancam pupus.
Urgensi meningkatkan integritas ujian menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Tindakan curang, baik di pihak guru, siswa, maupun penyelenggara, berakar pada tekanan untuk memperoleh hasil tertentu yang mungkin melampaui kapasitas sekolah. Tanpa jaminan dukungan pendampingan dan pemerataan mutu, dorongan "wajib lulus" rentan melahirkan akal bulus yang menodai nilai-nilai kejujuran. Konsep evaluasi seharusnya menjadi cermin kemajuan pembelajaran, bukan sekadar angka yang memaksa setiap pihak untuk melakukan apa pun demi kelulusan.
Penyesuaian kurikulum yang dipadukan dengan asesmen formatif harian cenderung lebih relevan untuk menggambarkan perkembangan siswa secara menyeluruh. Umpan balik berkelanjutan dari guru menjadi kunci pembentukan kompetensi yang sebenarnya. Pelaksanaan UN secara seragam bisa dijadikan data pendukung untuk memotret kondisi makro pendidikan, bukan satu-satunya indikator kelulusan. Langkah ini akan membantu pemangku kebijakan dalam menentukan intervensi yang tepat tanpa menimbulkan kehebohan setiap kali UN dilaksanakan.
Regulasi dan pengawasan ketat mungkin dibutuhkan jika UN kembali dihadirkan. Pengawasan meliputi persiapan soal, distribusi, hingga pelaksanaan di lapangan. Teknologi informasi bisa dioptimalkan untuk mencegah kebocoran dan manipulasi. Namun, pengawasan saja tidak akan cukup apabila akar permasalahan berupa tekanan berlebihan tidak diselesaikan. Ancaman tidak lulus sebaiknya tidak dijadikan momok yang membayangi guru dan siswa, tetapi lebih pada motivasi untuk memahami materi dengan baik.
Komitmen pada penegakan kejujuran harus menjadi landasan kebijakan. Program pembekalan moral bagi guru dan siswa dapat menumbuhkan kesadaran bahwa nilai kejujuran lebih esensial daripada sekadar angka kelulusan. Penghargaan terhadap sekolah yang berani jujur dan terbuka dalam menghadapi nilai siswa yang rendah akan memacu perubahan positif. Tanggung jawab kolektif pun perlu ditekankan agar semua unsur merasa berkewajiban membangun budaya pendidikan yang bersih.
Kesiapan mental dan teknis sangat penting sebelum kebijakan UN diberlakukan kembali. Penelitian mendalam mengenai dampak sosial, psikologis, dan pedagogis dari kembalinya UN sebagai penentu kelulusan wajib dilakukan. Rendahnya daya saing lulusan tidak semata dipicu oleh tidak adanya UN, melainkan oleh banyak faktor struktural seperti pemerataan guru, sarana belajar, dan kurikulum yang adaptif. UN bukan alat ajaib yang akan menyelesaikan segala problem pendidikan, tetapi hanya satu instrumen di antara rangkaian strategi yang lebih luas.