Dalam setiap perbincangan terkait pendidikan di Indonesia, salah satu isu yang tak pernah luput dari sorotan adalah beban administratif yang dihadapi para pendidik, baik guru maupun dosen. Keluhan ini sering kali mencuat dalam forum diskusi hingga seminar pendidikan, bahkan menjadi tajuk utama berita pendidikan. Namun, di balik segala protes dan keluhan itu, kita perlu meninjau ulang: apakah administrasi ini semata-mata beban, ataukah sebenarnya sebuah instrumen akuntabilitas yang merekam dedikasi seorang pendidik?
Dilema Beban Administrasi
Sebagian besar guru dan dosen akan sepakat bahwa pekerjaan mereka tidak hanya mengajar. Mereka juga dituntut untuk membuat berbagai dokumen administratif, seperti rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), laporan evaluasi belajar, hingga berbagai formulir dan laporan lain yang seolah tak ada habisnya. Bagi guru, terutama yang mengajar di sekolah dengan tuntutan akreditasi tinggi, jumlah dokumen ini bisa mencapai puluhan. Dosen pun tidak jauh berbeda; laporan Tri Dharma Perguruan Tinggi, penilaian kinerja, hingga administrasi penelitian dan pengabdian masyarakat menjadi bagian integral dari tugas mereka.
Realitas ini sering kali dianggap sebagai "beban tambahan" yang mengalihkan fokus pendidik dari tugas utama mereka: menginspirasi dan mendidik siswa. Tidak sedikit guru yang merasa bahwa waktu yang seharusnya digunakan untuk mempersiapkan materi pembelajaran yang kreatif dan inovatif justru tersita untuk menyelesaikan dokumen administratif yang kadang dirasa kurang relevan dengan esensi pengajaran.
Administrasi sebagai Bukti Kinerja
Namun, mari kita lihat dari sudut pandang yang lebih positif. Administrasi, sejatinya, adalah sebuah alat akuntabilitas. Dalam dunia profesional mana pun, bukti kerja yang terdokumentasi menjadi standar evaluasi kinerja. Bagaimana mungkin kinerja seorang pendidik dapat dievaluasi jika tidak ada dokumentasi yang menunjukkan apa yang telah dilakukan? Tanpa administrasi yang lengkap, sulit bagi kepala sekolah, dekan, atau pengambil kebijakan untuk memahami kualitas proses belajar-mengajar yang dilakukan.
Sebagai contoh, RPP bukan hanya sekadar dokumen yang wajib dibuat, melainkan panduan yang membantu pendidik merancang proses belajar secara sistematis. Laporan evaluasi belajar, di sisi lain, menjadi sarana refleksi bagi pendidik untuk menilai efektivitas metode yang digunakan. Bahkan, laporan pengabdian masyarakat yang dibuat oleh dosen menunjukkan kontribusi mereka dalam membawa manfaat nyata ke masyarakat.
Kesenjangan Realitas dan Harapan
Meski demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa dalam praktiknya, administrasi sering kali menjadi terlalu berlebihan dan tidak efektif. Banyak dokumen yang dibuat hanya untuk memenuhi syarat formalitas, tanpa ada tindak lanjut nyata dari isinya. Guru dan dosen akhirnya merasa bahwa mereka bekerja "untuk kertas", bukan untuk siswa atau mahasiswa. Di sinilah letak permasalahan sebenarnya: administrasi yang seharusnya menjadi alat penunjang, justru berubah menjadi penghalang.
Kesenjangan ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, kurangnya pelatihan tentang bagaimana membuat administrasi yang efektif dan efisien. Banyak pendidik yang merasa kewalahan karena tidak memahami apa yang sebenarnya diminta dalam dokumen administratif tersebut. Kedua, sistem evaluasi yang terlalu berfokus pada dokumen, bukan pada dampak nyata yang dihasilkan oleh pendidik. Ketiga, minimnya penghargaan bagi pendidik yang berhasil menjalankan tugas administratif dengan baik, sehingga motivasi untuk melakukannya pun rendah.
Solusi untuk Beban Administrasi