Malam itu, di depan laptopku, secangkir kopi hampir mendingin di samping setumpuk file tugas mahasiswa PPG K2. Salah satu tugas dari modul Pengembangan Perangkat Pembelajaran menarik perhatianku. Di sana, seorang mahasiswa menyusun struktur mata pelajaran untuk sekolahnya. Namun, ada satu mata pelajaran yang membuatku mengernyitkan dahi: Bahasa Makassar.
"Bahasa Makassar?" gumamku. Bukankah sekolah ini berada di Kalimantan Selatan?
Aku memeriksa kembali tugas tersebut, memastikan tidak salah baca. Rasa bingung bercampur geli. Mungkin ini kekhilafan biasa. Namun, kekeliruan seperti ini penting untuk diluruskan, terutama bagi calon pendidik. Aku memutuskan mengangkat hal ini di grup WhatsApp K2.
"Rekan-rekan K2, saya menemukan sesuatu yang unik di tugas salah satu dari Anda. Ada mata pelajaran Bahasa Makassar di struktur sekolah di Kalimantan Selatan. Bisa direvisi, ya, agar sesuai."
Pesanku terkirim. Aku membayangkan akan ada respons ringan, mungkin disertai tawa kecil. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
"Ini pasti copy-paste," tulis Abdi, seperti biasa dengan gayanya yang blak-blakan. "Siapa sih yang kerjain tugas nggak niat gini? Malu dong sama diri sendiri."
Chat Abdi disusul emoji facepalm. Grup mendadak ramai.
"Betul, Mas Abdi," balas salah satu mahasiswa. "Kita kan calon pendidik. Jangan sampai tugas kita asal-asalan."
Komentar demi komentar bermunculan, beberapa terlihat menyindir, beberapa lainnya hanya diam. Tapi aku tahu, di balik layar, pasti ada seseorang yang hatinya berdebar keras.
Aku ingin menenangkan suasana, tapi sebelum sempat mengetikkan pesan, sebuah balasan masuk. Kali ini dari Tri Indah, yang biasanya lebih bijak dalam berbicara.
"Teman-teman, mungkin ini hanya kekhilafan. Kita semua pernah khilaf, bukan? Jangan terlalu keras menilai," tulisnya.