Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tumpeng di Persimpangan Kurikulum dan Filosofis

16 November 2024   20:04 Diperbarui: 16 November 2024   20:56 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu, ruang diskusi kelas doktoral kami seperti medan debat yang memanas. Herlina, yang selalu kritis terhadap kebijakan pemerintah, memulai dengan lontaran pendapatnya yang tajam.

"Saya benar-benar tidak puas dengan implementasi Kurikulum Merdeka," katanya, suaranya tegas. "Alih-alih memberi kebebasan, ini malah menambah beban administratif bagi guru. Semua laporan dan dokumen yang harus diisi---apa gunanya kalau akhirnya hanya numpuk tanpa makna?"

Ruangan menjadi hening sejenak. Biasanya, Herlina menjadi suara dominan yang sulit dibantah. Tapi sore itu, Hamli, yang biasanya lebih memilih diam, tiba-tiba mengangkat tangan. Sosok Hamli dengan aksen Hulu Sungai Utara yang kental selalu menjadi warna unik di kelas kami, tapi ia jarang sekali terlibat dalam perdebatan besar.

"Maaf, Herlina," katanya dengan nada lembut tapi jelas. "Aku ingin memberi pendapat, walaupun mungkin ini berbeda dari pandanganmu."

Herlina menatap Hamli, tampak terkejut sekaligus penasaran. "Silakan, Hamli."

Hamli tersenyum kecil, wajahnya ramah, seperti seorang guru yang berbicara kepada murid-muridnya. "Begini, Herlina. Kurikulum Merdeka itu, kalau kita pahami benar, sebenarnya memberikan peluang besar. Memang administrasi itu ada, tapi itu cuma alat bantu, bukan inti dari kurikulumnya. Kita ini kadang terlalu banyak ma-hual soal kebijakan. Padahal, yang penting dikerjakan saja."

Kata ma-hual yang ia lontarkan, berarti memperdebatkan atau mempermasalahkan dalalam Bahasa Banjar, membuat suasana ruangan sedikit mencair. Beberapa dari kami tersenyum mendengar aksennya yang khas, tapi Herlina tampak tidak puas.

"Hamli, kau sendiri guru, bukan? Bukankah kau tahu beban administratif itu seperti apa? Rapor projek, asesmen formatif, refleksi pembelajaran---semua itu bukan sekadar alat, tapi beban."

Hamli menatap Herlina dengan tenang, lalu menjawab dengan santai, "Aku tahu, Herlina. Tapi masalahnya, kita ini kadang terlalu sibuk memikirkan beban itu sampai lupa melihat esensinya. Kurikulum Merdeka ini pun sudah mengandung membawa tiga komponen utama dari deep learning: mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning. Kalau kita fokus pada tiga hal itu, administrasi itu jadi urusan kecil saja."

Qamar, yang duduk di sebelah Hamli, ikut mendukung. "Aku setuju dengan Hamli. Mindful learning memastikan siswa benar-benar hadir secara utuh dalam pembelajaran. Meaningful learning membuat mereka belajar sesuatu yang relevan dengan kehidupan mereka. Dan joyful learning memastikan proses belajar jadi menyenangkan. Administrasi itu hanya pelengkap, bukan inti."

Herlina menghela napas panjang. "Mindful, meaningful, joyful---semuanya terdengar indah di atas kertas. Tapi kenyataannya, guru di lapangan lebih sering stres daripada merasa joyful."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun