Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tumpeng di Persimpangan Kurikulum dan Filosofis

16 November 2024   20:04 Diperbarui: 16 November 2024   20:56 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hamli tersenyum lagi. "Itulah, Herlina. Aku tidak bilang ini mudah. Tapi kalau kita terus ma-hual soal kebijakan, kita tidak akan pernah bisa maju. Deep learning itu, kalau dipikir-pikir, sama seperti kita menjalani hidup ini. Yang penting, jalan dulu. Kalau kita terlalu fokus pada yang salah, kita kehilangan peluang untuk belajar."

Diskusi semakin memanas ketika Qamar menambahkan, "Hamli benar. Deep learning ini seperti filsafat hidup. Apakah kita akan menyerah pada takdir seperti Jabariyah, atau berusaha mengubah segalanya seperti Qadariyah? Kurikulum Merdeka ini mengajak kita menemukan jalan tengah."

Herlina tampak semakin kesal. "Jadi kau mau bilang aku penganut Qadariyah, Qamar? Karena aku mengkritik kurikulum ini?"

Qamar tertawa kecil. "Bukan begitu, Herlina. Aku hanya bilang, kadang kita perlu berhenti melawan dan mulai memahami. Kalau kita memandang ini sebagai peluang, kita bisa belajar banyak."

Aku hanya duduk menyimak, merenungkan konsep deep learning yang tiba-tiba menjadi inti dari diskusi ini. Tiga komponennya---mindful, meaningful, joyful---terasa seperti idealisme yang indah. Tapi apakah itu benar-benar bisa diterapkan dalam sistem yang penuh dengan beban administratif dan kendala struktural?

Diskusi semakin panas, hingga akhirnya Maksad, yang sejak tadi diam, menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengangkat tangan.

"Kalau boleh aku tambahkan," katanya dengan santai, "sepertinya Kurikulum Merdeka ini seperti hidangan nasi tumpeng."

Semua menoleh dengan bingung. "Nasi tumpeng?" tanya Herlina.

"Iya," jawab Maksad, tetap santai. "Ada yang suka pedas, ada yang suka pakai telur. Tapi intinya, semuanya bikin kenyang. Sama seperti kurikulum ini. Mau suka atau tidak, yang penting dikerjakan dulu. Jangan lupa sambalnya, biar lebih joyful." Lanjutnya sambil tertawa kecil.

Tawa langsung pecah di ruangan. Bahkan Herlina yang biasanya serius pun akhirnya ikut tertawa kecil. "Jadi kau bilang, Maksad, kita ini cuma harus menikmatinya saja?"

"Kurang lebih begitu," jawab Maksad sambil tersenyum. "Tapi kalau terlalu pedas, jangan lupa minum air. Itu artinya, istirahat dulu kalau terlalu banyak administrasi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun