Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Suka baca cerpen dan mulai suka menulis cerpen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Etic dan Emic di Balik "Ku Menangis"

13 November 2024   16:38 Diperbarui: 13 November 2024   16:39 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu sore yang tenang tiba-tiba pecah oleh sebuah pesan di grup WhatsApp kelas doktoral kami. Terdengar bunyi notifikasi, lalu muncullah pesan dari Hidaya, salah satu teman yang biasanya tenang dan bijak.

_"Ku menangis..."_

Hanya dua kata itu. Tidak ada konteks, tidak ada tambahan penjelasan. Beberapa detik berlalu, lalu grup mulai ramai. Pesan-pesan datang bertubi-tubi.

_"Ada apa, Day? Kenapa menangis?"_ tulis Hamli, terkesan suaranya penuh kekhawatiran.

Rohama menyusul, _"Tetap semangat ya, Day! Disertasi memang berat, tapi kita ada di sini buat kamu."_

Namun, Samuel, yang selalu punya cara sendiri dalam menanggapi situasi, malah memberi respons yang tak terduga.

_"membayangkan, betapa kejamnya dirimu pada diriku, hahaha, itu lanjutannya dalam lagu Rossa."_ tulisnya sambil menambahkan emotikon tertawa.

Pesan Samuel diikuti oleh tawa yang dituliskan oleh beberapa teman lain, tapi Hidaya sendiri masih belum muncul. Setiap orang menebak-nebak maksud pesannya, dan suasana grup pun berubah menjadi dramatis, penuh dengan tanya yang tak terjawab.

"Ku menangis..." Dua kata itu seolah menjadi misteri yang mengambang di antara kami. Ada yang merasa prihatin, ada yang membesarkan hati, dan tentu saja, ada yang sekadar melontarkan candaan untuk mencairkan suasana. Namun, semakin lama, tanpa jawaban dari Hidaya, pesan itu justru membuat kami semakin bertanya-tanya.

Tidak berapa lama setelah itu, sambil menunggu balasan dari Hidaya yang tak kunjung datang, saya mencoba mengalihkan pikiran dan membuka status WhatsApp beberapa teman untuk melihat kabar terbaru. Tiba-tiba, saya melihat sebuah unggahan yang menarik perhatian saya: sebuah foto dari acara di kelas para mahasiswa doktoral, mereka tampak penuh tawa dan suka cita.

Hidaya pun ada di sana. Dalam salah satu foto, ia tertawa lepas bersama teman-teman. Wajahnya berseri-seri, jauh dari gambaran seseorang yang sedang menangis atau terpuruk.

Dalam hati saya tersenyum, teringat dengan materi perkuliahan beberapa hari lalu dari Bu Halimah, dosen muda yang penuh energi dan pakar dalam bidang psikologi. Hari itu, Bu Halimah membahas tentang konsep Etic dan Emic Approach. Materi ini, pada intinya, membedakan bagaimana suatu makna dapat dilihat dari perspektif luar (etic) dan perspektif dalam (emic). Dengan kata lain, makna dari suatu fenomena bisa berbeda, tergantung dari mana kita melihatnya.

Sore itu, pesan singkat "ku menangis" yang dikirimkan Hidaya terasa seperti contoh nyata dari materi itu. Dari sudut pandang etic, pesan itu jelas dan langsung: menangis identik dengan kesedihan atau tekanan. Tapi, jika kita melihat dari sudut pandang emic, yang mendekati makna dari konteks dan perasaan si pengirim, pesan itu mungkin punya arti lain yang tak sesederhana yang kita pikirkan.

Saya tersenyum lagi, menyadari bahwa Hidaya mungkin sedang bercanda atau sedang membuat teka-teki kecil bagi kami di grup. Pesannya ternyata memiliki dua wajah, layaknya cermin ganda yang memantulkan dua citra. Satu sisi adalah apa yang kami lihat dari luar---kesedihan, tekanan, atau kelelahan. Di sisi lain, mungkin ada makna tersembunyi yang hanya ia sendiri yang memahami.

Menjelang magrib, setelah banyak spekulasi di grup yang tidak membuahkan jawaban, Samuel kembali muncul dengan pesannya yang khas. Kali ini, nadanya ringan dan menghibur.

_"Hidaya, apakah maksud 'ku menangis' itu kode untuk traktir kami es krim? Kalau iya, jangan lupa bawa besok ya. Kami semua siap menerima traktiran tangisanmu."_

Tawa dari Samuel langsung membanjiri layar ponsel, diikuti dengan reaksi lucu dari beberapa teman. Semuanya terasa kembali normal, seolah-olah pesan singkat dari Hidaya tadi hanyalah sebuah interupsi kecil di hari kami yang sibuk.

Grup berangsur sepi, dan tak lama kemudian, Hidaya akhirnya membalas dengan singkat, "Lihat saja besok."

Akhirnya, saya mematikan ponsel dengan senyum simpul di wajah. Mungkin itulah keindahan dari perjalanan kami di kelas doktoral ini. Tidak semua harus terlihat jelas dan terjawab dengan lugas. Ada kalanya, seperti "ku menangis" yang sederhana, kita diberi kesempatan untuk menafsirkan dan memaknainya dengan beragam sudut pandang. Entah itu kesedihan yang tulus, atau mungkin hanya gurauan ringan, di sinilah kami belajar bahwa makna tidak selalu satu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun