Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ayah, Peran Utama yang Tersubordinasikan

12 November 2024   10:09 Diperbarui: 12 November 2024   12:02 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI: Ayah dan anak | Pexels/Jenny Uhling


Hari ini, 12 November, kita memperingati Hari Ayah, sebuah momen yang seharusnya menjadi perayaan atas peran penting seorang ayah dalam keluarga. Sayangnya, bagi sebagian besar masyarakat, Hari Ayah hanya lewat begitu saja, tanpa perayaan, tanpa apresiasi yang nyata, bahkan tanpa ucapan selamat yang berarti. 

Sebagai seorang ayah sekaligus seorang akademisi, saya menyaksikan dengan keprihatinan fenomena ini---betapa peran seorang ayah sering tersubordinasikan, baik oleh pandangan masyarakat maupun oleh bias yang telah lama berakar.

Salah satu refleksi menarik adalah ketidaktahuan atau ketidakpedulian masyarakat terhadap Hari Ayah. Banyak yang dengan antusias mengucapkan selamat Hari Ibu setiap Desember, tetapi ketika Hari Ayah tiba, tidak banyak yang mengingat, apalagi mengucapkan selamat. 

Bahkan, banyak ayah sendiri yang tidak mengetahui adanya hari yang khusus didedikasikan bagi mereka. Hal ini memunculkan kecemburuan alami---yang barangkali jarang diungkapkan---antara sosok ayah dan ibu. Meski sama-sama orang tua, mengapa apresiasi sosial terhadap ibu jauh lebih tinggi dibandingkan ayah?

Sebagai seorang ayah, saya memahami alasan di balik hal ini. Kita hidup dalam masyarakat yang secara budaya dan sosial telah mengangkat peran ibu sebagai pilar utama dalam kehidupan anak. Ibu dianggap sosok yang penuh pengorbanan, lembut, dan memiliki kehangatan yang tak tergantikan. 

Tentu, tidak ada yang salah dengan pandangan ini; kenyataannya, peran ibu dalam kehidupan anak-anak memang luar biasa besar dan sangat layak mendapat apresiasi tinggi. Namun, kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah peran ayah kurang penting? Apakah tanggung jawabnya dalam menafkahi, melindungi, dan mendidik anak tidak layak dihargai dengan porsi yang sama?

Sebagai akademisi, saya mencoba memahami bahwa ketimpangan ini mungkin berasal dari bias gender yang telah lama bercokol di masyarakat. Ayah cenderung dilihat sebagai sosok yang kuat, tegar, dan mandiri, sehingga tak perlu simpati atau perhatian lebih. Masyarakat menganggap bahwa ayah sudah seharusnya memenuhi kebutuhan keluarga tanpa meminta pengakuan. 

Ketika seorang ibu harus menghidupi anak-anaknya sendiri, simpati dan empati publik segera terarah padanya. Berbeda halnya dengan seorang ayah yang berjuang sendiri dalam merawat anak-anaknya, sering kali perjuangan mereka tidak mendapat apresiasi yang setara. Alih-alih diberi pujian atau empati, mereka hanya dianggap menjalankan tugas "seharusnya".

Dalam perjalanan hidup berkeluarga, seorang ayah sering kali harus mengorbankan banyak hal tanpa merasa perlu mengungkapkannya. Ayah rela memendam impiannya demi memastikan pendidikan anak-anaknya terjamin, ia bekerja keras tanpa henti demi menjaga kebutuhan keluarga, dan bahkan ketika lelah atau sakit, ia sering kali memilih untuk tidak memperlihatkannya. 

Di mata anak-anaknya, seorang ayah harus selalu kuat, tanpa cela, dan siap kapan saja mereka butuhkan. Ayah juga berperan sebagai panutan dalam hal disiplin dan tanggung jawab, suatu peran penting dalam pembentukan karakter anak-anaknya. Namun, peran-peran ini sering kali tidak mendapatkan apresiasi yang seimbang dengan peran keibuan yang lebih emosional dan terlihat dalam keseharian.

Menarik untuk kita renungkan juga bahwa banyak ayah yang mengorbankan waktu dan kesempatan untuk diri sendiri demi keluarga mereka. Jika seorang ibu sering kali dikagumi karena mampu membagi perhatian antara pekerjaan dan rumah tangga, ayah jarang mendapat apresiasi yang serupa meski ia melakukan pengorbanan yang sama besar. 

Apalagi ketika seorang ayah bekerja jauh dari rumah, masyarakat cenderung menganggapnya sebagai bagian dari tugas seorang ayah. Mereka tidak melihat bahwa ada perasaan rindu yang harus ditekan, ada momen-momen berharga yang terlewatkan, dan ada perasaan bersalah yang kadang muncul ketika tidak bisa berada di samping anak-anaknya pada saat penting.

Jika kita melihat peran ayah dari perspektif yang lebih luas, kita akan menemukan bahwa ayah bukan sekadar pencari nafkah. Ia adalah seorang pemimpin keluarga yang berperan menjaga stabilitas, baik emosional maupun finansial. Di balik keheningan dan kerelaannya berkorban, ada kekuatan mental yang luar biasa untuk menjaga keluarga tetap utuh dan harmonis. 

Seorang ayah harus mampu menjaga keseimbangan, baik sebagai pemimpin keluarga maupun sebagai sahabat bagi anak-anaknya. Di sinilah letak kesulitan yang sering kali tidak dipahami oleh masyarakat.

Banyak ayah yang mengorbankan dirinya untuk kebahagiaan anak dan istrinya, bahkan jika itu berarti menahan diri dari mengungkapkan emosinya. Mereka mengerti bahwa perhatian lebih sering diberikan kepada ibu, dan mereka menerimanya dengan lapang dada. Dalam hati kecil, mungkin ada perasaan cemburu atau harapan agar mereka juga dianggap penting. Namun, sebagai kepala keluarga, ayah sering kali menahan diri untuk tidak menuntut lebih, demi menjaga keharmonisan keluarga.

Sebagai seorang akademisi dan ayah, saya berharap kita dapat merubah pandangan ini, sehingga masyarakat dapat memberikan apresiasi yang seimbang kepada kedua peran orang tua. Ayah dan ibu sama-sama memegang peran yang esensial dalam perkembangan anak, dan keduanya layak mendapatkan pengakuan serta empati yang setara. 

Di Hari Ayah ini, alangkah baiknya jika kita mulai memberikan penghargaan yang selayaknya, bukan hanya dalam bentuk ucapan selamat, tetapi juga dalam bentuk perhatian dan empati. Ayah juga membutuhkan dukungan, apresiasi, dan tempat di hati anak-anaknya yang sama besarnya dengan ibu.

Untuk masa depan yang lebih baik, kita harus mulai membangun kesadaran akan pentingnya peran ayah dalam keluarga. Pendidikan tentang pentingnya kesetaraan dalam mengapresiasi peran orang tua seharusnya menjadi bagian dari upaya kita membangun masyarakat yang lebih adil. 

Menghargai ayah berarti menghargai kontribusi tanpa pamrih yang sering kali tidak terlihat, tetapi berdampak besar pada kehidupan kita semua. Ini bukan tentang menafikan peran ibu; ini tentang memberikan pengakuan kepada mereka yang, dalam diam, telah menjadi pilar kokoh di balik kesuksesan keluarga.

Hari Ayah adalah waktu yang tepat bagi kita untuk merenung dan mengapresiasi mereka yang tidak pernah menuntut apa-apa, tetapi selalu memberikan segalanya. Semoga Hari Ayah di masa mendatang dapat dirayakan dengan kesadaran yang lebih besar, dan semoga kita semua dapat memberikan tempat di hati kita untuk sosok ayah yang selalu mendampingi kita, meski kadang tak terlihat dan tak terucapkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun