Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Suka baca cerpen dan mulai suka menulis cerpen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ayah, Peran Utama yang Tersubordinasikan

12 November 2024   10:09 Diperbarui: 12 November 2024   12:02 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI: Ayah dan anak | Pexels/Jenny Uhling


Hari ini, 12 November, kita memperingati Hari Ayah, sebuah momen yang seharusnya menjadi perayaan atas peran penting seorang ayah dalam keluarga. Sayangnya, bagi sebagian besar masyarakat, Hari Ayah hanya lewat begitu saja, tanpa perayaan, tanpa apresiasi yang nyata, bahkan tanpa ucapan selamat yang berarti. 

Sebagai seorang ayah sekaligus seorang akademisi, saya menyaksikan dengan keprihatinan fenomena ini---betapa peran seorang ayah sering tersubordinasikan, baik oleh pandangan masyarakat maupun oleh bias yang telah lama berakar.

Salah satu refleksi menarik adalah ketidaktahuan atau ketidakpedulian masyarakat terhadap Hari Ayah. Banyak yang dengan antusias mengucapkan selamat Hari Ibu setiap Desember, tetapi ketika Hari Ayah tiba, tidak banyak yang mengingat, apalagi mengucapkan selamat. 

Bahkan, banyak ayah sendiri yang tidak mengetahui adanya hari yang khusus didedikasikan bagi mereka. Hal ini memunculkan kecemburuan alami---yang barangkali jarang diungkapkan---antara sosok ayah dan ibu. Meski sama-sama orang tua, mengapa apresiasi sosial terhadap ibu jauh lebih tinggi dibandingkan ayah?

Sebagai seorang ayah, saya memahami alasan di balik hal ini. Kita hidup dalam masyarakat yang secara budaya dan sosial telah mengangkat peran ibu sebagai pilar utama dalam kehidupan anak. Ibu dianggap sosok yang penuh pengorbanan, lembut, dan memiliki kehangatan yang tak tergantikan. 

Tentu, tidak ada yang salah dengan pandangan ini; kenyataannya, peran ibu dalam kehidupan anak-anak memang luar biasa besar dan sangat layak mendapat apresiasi tinggi. Namun, kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah peran ayah kurang penting? Apakah tanggung jawabnya dalam menafkahi, melindungi, dan mendidik anak tidak layak dihargai dengan porsi yang sama?

Sebagai akademisi, saya mencoba memahami bahwa ketimpangan ini mungkin berasal dari bias gender yang telah lama bercokol di masyarakat. Ayah cenderung dilihat sebagai sosok yang kuat, tegar, dan mandiri, sehingga tak perlu simpati atau perhatian lebih. Masyarakat menganggap bahwa ayah sudah seharusnya memenuhi kebutuhan keluarga tanpa meminta pengakuan. 

Ketika seorang ibu harus menghidupi anak-anaknya sendiri, simpati dan empati publik segera terarah padanya. Berbeda halnya dengan seorang ayah yang berjuang sendiri dalam merawat anak-anaknya, sering kali perjuangan mereka tidak mendapat apresiasi yang setara. Alih-alih diberi pujian atau empati, mereka hanya dianggap menjalankan tugas "seharusnya".

Dalam perjalanan hidup berkeluarga, seorang ayah sering kali harus mengorbankan banyak hal tanpa merasa perlu mengungkapkannya. Ayah rela memendam impiannya demi memastikan pendidikan anak-anaknya terjamin, ia bekerja keras tanpa henti demi menjaga kebutuhan keluarga, dan bahkan ketika lelah atau sakit, ia sering kali memilih untuk tidak memperlihatkannya. 

Di mata anak-anaknya, seorang ayah harus selalu kuat, tanpa cela, dan siap kapan saja mereka butuhkan. Ayah juga berperan sebagai panutan dalam hal disiplin dan tanggung jawab, suatu peran penting dalam pembentukan karakter anak-anaknya. Namun, peran-peran ini sering kali tidak mendapatkan apresiasi yang seimbang dengan peran keibuan yang lebih emosional dan terlihat dalam keseharian.

Menarik untuk kita renungkan juga bahwa banyak ayah yang mengorbankan waktu dan kesempatan untuk diri sendiri demi keluarga mereka. Jika seorang ibu sering kali dikagumi karena mampu membagi perhatian antara pekerjaan dan rumah tangga, ayah jarang mendapat apresiasi yang serupa meski ia melakukan pengorbanan yang sama besar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun