"Realistis, Bu?" tanyaku sambil menahan nada yang lebih tajam dari biasanya. "Bukankah tugas kita bukan hanya menyampaikan teori, tetapi juga menginspirasi? Mereka ini akan menjadi guru di tempat-tempat yang penuh tantangan. Jika kita hanya memberi mereka apa yang mudah, bukankah kita tidak sedang mempersiapkan mereka dengan baik?"
Bu Rini menghela napas. "Saya tahu, Pak Ahmad. Tapi ingat, kita juga harus memastikan kurikulum berjalan sesuai rencana. Kadang, beberapa dosen merasa metode Bapak bisa terlalu membebani mahasiswa."
Aku menatapnya sejenak, menyadari bahwa ini lebih dari sekadar perbedaan pandangan. Mungkin sebagian dosen merasa metodeku, yang mengajak mahasiswa berdiskusi terbuka tentang idealisme dan realitas, kurang sesuai dengan sistem penilaian yang baku. Tapi bagiku, pendidikan bukan sekadar soal hasil, melainkan proses membentuk manusia.
"Baik, Bu. Saya akan mencoba menyeimbangkannya," jawabku akhirnya, meskipun dalam hati, aku merasa belum puas.
Keesokan harinya, aku kembali ke kelas. Hari itu aku memutuskan untuk mencoba pendekatan yang berbeda, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai yang kuanggap penting. Aku memulai dengan sebuah cerita.
"Pernahkah kalian mendengar tentang seorang guru yang mengajar di sekolah tanpa papan tulis, hanya berbekal kapur di tembok sekolahnya yang usang?" tanyaku membuka pertemuan.
Beberapa mahasiswa mengangguk penasaran. "Guru itu setiap hari menghadap murid-muridnya dengan penuh senyum, meski ia tahu bahwa kapur itu tak akan bertahan lama. Tapi ia selalu percaya, bahkan di tempat yang sederhana, pendidikan itu adalah proses bertumbuh---bukan sekadar alat atau fasilitas."
Dani tersenyum mendengar cerita itu, seolah ia melihat dirinya dalam kisah tersebut. Aku yakin, cerita ini memberi mereka sesuatu untuk direnungkan. Namun, suasana kelas mendadak berubah ketika Pak Taufik, dosen senior yang terkenal disiplin, memasuki kelas tanpa permisi.
"Maaf mengganggu, Pak Ahmad," katanya datar. "Saya hanya ingin menegaskan bahwa program ini juga harus memenuhi syarat penilaian akademik dengan jelas."
Aku mengangguk hormat, meskipun ada rasa enggan dalam diriku. Setelah Pak Taufik pergi, mahasiswa mulai saling berbisik.
"Pak, jadi kami harus fokus pada nilai, bukan? Padahal kami ingin belajar lebih banyak tentang menjadi guru yang benar-benar paham kebutuhan siswa," ujar Rahmat, mahasiswa lainnya, dengan nada kesal.