Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Es Krim di Balik Desain Pengukuran

8 November 2024   18:58 Diperbarui: 8 November 2024   20:50 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, kelas doktoral kami berubah menjadi arena perdebatan yang mengguncang. Di meja tengah, Herlina dan Rohama saling berhadapan seperti dua arus sungai yang sama derasnya, namun mengalir ke arah berbeda. Aku bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara, begitu tebal dan nyaris tak bisa dipecahkan oleh suara-suara ringan dari kelas lain.

"Rohama, izinkan aku jujur," kata Herlina, suaranya tenang namun tajam, seperti pisau yang mengiris perlahan. "Makalahmu ini---bagaimana ya, kukira judulnya tentang desain pengukuran dalam evaluasi, tapi isinya seperti terjun ke jurang yang berbeda. Hampir tak kusentuh satu pun pembahasan soal desain pengukuran, dan sejujurnya ini jadi... tidak relevan."

Rohama, biasanya setenang embun pagi, kini tampak terguncang. Matanya berkedip, seolah mencari sesuatu untuk disanggah, tapi kata-kata itu macet di tenggorokan. Aku melihat rona merah mulai menjalar di pipinya, dan tangannya menggenggam erat pena di depannya, tanda bahwa kritik itu benar-benar menghujam dalam.

"Ya, tapi, bukankah..." Rohama berusaha menyusun kalimat, namun keraguannya seperti kunci yang menahan aliran kata-kata.

Herlina mengangkat alis, sorot matanya tak goyah. "Kita berbicara tentang akademik, bukan sekadar opini. Kalau kita mengangkat judul 'Desain Pengukuran dalam Evaluasi,' tentu pembaca berharap menemukan penjelasan tentang desain yang digunakan, bagaimana variabel diukur, atau bahkan metodologi dasar pengukurannya."

Aku yang duduk tak jauh dari mereka ikut terperangkap di antara pertarungan ini. Sebenarnya aku menyimpan simpati pada Rohama. Aku tahu, ia menghabiskan waktu berhari-hari mengerjakan makalahnya. Namun, kali ini aku sependapat dengan Herlina. Bukan soal berpihak, tapi kritik itu terasa begitu jujur dan perlu, apalagi untuk seseorang yang menginginkan kedalaman dalam dunia akademik.

"Aku... Aku berpikir, mungkin Rohama memang punya sudut pandang lain," kataku, mencoba menyelipkan nada diplomatis, meskipun aku tahu kalimat itu tak sepenuhnya membela. "Tapi, Herlina ada benarnya, Rohama. Ada baiknya kamu membahas lebih jauh soal desain pengukurannya. Mungkin bisa diperdalam agar sesuai dengan topik"

Rohama melirik tajam padaku, sinar matanya mencerminkan perasaan tersudut yang berkecamuk. Ia mungkin tak menyangka aku malah bergabung dalam suara yang menyudutkannya. Ia membuang muka, dan senyum getirnya tersirat. Seketika itu, rasa bersalah menyelinap dalam hati, namun sulit bagiku untuk meralat kata-kata yang sudah terlontar.

Di sudut lain, Sidik, biasanya menjadi peredam ketegangan, kini justru hanya diam memandangi meja. Aku tahu ia berpihak pada Rohama, namun kali ini ia pun tak berkutik, seolah menyadari bahwa pembahasan ini telah melewati batas yang ia sanggupi.

Herlina menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih lunak. "Rohama, bukan berarti aku tak menghargai usahamu. Tapi kita ini di sini untuk belajar dan berkembang. Kritik ini adalah bentuk rasa hormatku terhadap perjuanganmu, agar karya ini lebih mendalam, lebih tajam."

Rohama, meski terlihat memerah, akhirnya berhasil mengumpulkan kata-kata. "Herlina, aku... aku hanya ingin menggabungkan sisi praktis dan teori. Aku merasa, kalau sekadar fokus pada desain pengukuran, mungkin hasilnya akan terasa kering..."

"Tapi itulah esensinya, Rohama!" potong Herlina, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Kadang kita memang harus mengambil jalan yang sulit demi kedalaman dan keakuratan akademik."

Kata-kata itu menutup perdebatan dengan hening yang memanjang. Aku bisa merasakan kekecewaan Rohama yang tak terselip kata. Dalam tatapannya yang dingin kepadaku, seolah tersirat amarah yang membungkus perasaan ditinggalkan. Hatinya yang biasanya teduh kini bagai angin dingin yang menjauh, dan aku tak tahu harus berkata apa untuk menenangkan riak yang telah kuciptakan.

Setelah kelas berakhir, aku menunggu Rohama di luar ruangan, berharap bisa mengobati luka yang tanpa sengaja kuruncingkan. Aku membawa es krim vanila favoritnya yang kubeli di kantin, berharap pemberian kecil ini mampu sedikit mencairkan suasana.

Saat Rohama keluar, wajahnya masih menyiratkan duka, namun aku memberanikan diri mengulurkan es krim itu. "Rohama, ini... Aku tak bermaksud melukaimu. Aku hanya... ya, aku mendukungmu untuk menjadi lebih baik."

Ia melihat es krim itu sejenak, lalu menatapku dengan senyum tipis yang sedikit melunakkan kekakuan di antara kami. "Kadang, kritik memang terasa pahit, ya," gumamnya sambil menerima es krim itu.

Aku mengangguk, merasa beban di hati ini sedikit berkurang. Rohama membuka tutup es krim dan mulai menikmati, meskipun wajahnya masih menyisakan sedikit kekesalan. Dalam kebersamaan yang hening ini, kami menyadari, mungkin rasa sakit dari perdebatan tadi akan menjadi bagian dari perjalanan kami dalam memahami dunia akademik yang tak selalu lembut, namun penuh pembelajaran dan pertumbuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun