"Tapi itulah esensinya, Rohama!" potong Herlina, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Kadang kita memang harus mengambil jalan yang sulit demi kedalaman dan keakuratan akademik."
Kata-kata itu menutup perdebatan dengan hening yang memanjang. Aku bisa merasakan kekecewaan Rohama yang tak terselip kata. Dalam tatapannya yang dingin kepadaku, seolah tersirat amarah yang membungkus perasaan ditinggalkan. Hatinya yang biasanya teduh kini bagai angin dingin yang menjauh, dan aku tak tahu harus berkata apa untuk menenangkan riak yang telah kuciptakan.
Setelah kelas berakhir, aku menunggu Rohama di luar ruangan, berharap bisa mengobati luka yang tanpa sengaja kuruncingkan. Aku membawa es krim vanila favoritnya yang kubeli di kantin, berharap pemberian kecil ini mampu sedikit mencairkan suasana.
Saat Rohama keluar, wajahnya masih menyiratkan duka, namun aku memberanikan diri mengulurkan es krim itu. "Rohama, ini... Aku tak bermaksud melukaimu. Aku hanya... ya, aku mendukungmu untuk menjadi lebih baik."
Ia melihat es krim itu sejenak, lalu menatapku dengan senyum tipis yang sedikit melunakkan kekakuan di antara kami. "Kadang, kritik memang terasa pahit, ya," gumamnya sambil menerima es krim itu.
Aku mengangguk, merasa beban di hati ini sedikit berkurang. Rohama membuka tutup es krim dan mulai menikmati, meskipun wajahnya masih menyisakan sedikit kekesalan. Dalam kebersamaan yang hening ini, kami menyadari, mungkin rasa sakit dari perdebatan tadi akan menjadi bagian dari perjalanan kami dalam memahami dunia akademik yang tak selalu lembut, namun penuh pembelajaran dan pertumbuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H