Ruang kelas kami malam itu seperti ruang sunyi yang ditelan keseriusan. Mata kami tertuju pada topik yang tak ringan---Islam Patuntung, aliran tradisi lokal yang kerap kali dipandang berbeda dari ajaran Islam yang umum dikenal.Â
Kami telah menyiapkan banyak hal untuk diskusi ini, namun tak seorang pun menduga, malam ini, perdebatan akan menciptakan ketegangan yang melampaui sekadar argumentasi ilmiah.
Di sudut meja bundar, Hidaya duduk tegap. Ekspresinya tetap tenang, namun matanya memancarkan ketegasan yang menyiratkan keyakinan teguh. Di sisi berlawanan, Irlina---sosok yang selalu menggebu-gebu, menyimpan ketidakpuasan yang hendak ia tuangkan segera dalam kata-kata.Â
Maksad, dengan gestur santainya, duduk bersandar di kursi sambil tersenyum simpul. Sosok kebapakannya sering menghangatkan suasana, tapi kadang ia juga menyulut api, menambah bara di tengah ketegangan. Aku, saksi yang mendengarkan dengan seksama, menyaksikan pertarungan gagasan yang segera memuncak.
"Islam Patuntung adalah sebuah bentuk keberagaman yang perlu dihormati," kata Hidaya, suaranya pelan namun tegas. "Kita tak bisa sekadar menghakimi dengan kacamata hitam-putih. Ada nilai budaya yang telah tumbuh berabad-abad dalam praktik ini."
Irlina tak membiarkan jeda terlalu lama. "Tapi, Hidaya, bukankah kita harus berpijak pada standar yang jelas? Patuntung itu bukan Islam yang sebenarnya jika dilihat dari sisi akidah. Kita tak bisa terus-menerus memelihara sesuatu yang menyimpang dari ajaran."
Hidaya mengangkat dagu sedikit, senyumnya tetap lembut meskipun nadanya terdengar lebih tegas. "Dan apa standar yang kamu maksud itu, Irlina? Bukankah ajaran Islam itu luas, menyerap budaya selama tidak melanggar syariat?"
Sebelum Irlina sempat membalas, Maksad menimpali sambil terkekeh kecil. "Kalau dibiarkan begini, lama-lama Patuntung malah dikira agama baru. Bisa-bisa makin ribet nanti urusannya di kampung."
Irlina melotot pada Maksad, yang tampak santai, bahkan sedikit selengean. "Maksad, kamu selalu meremehkan masalah. Ini soal penting, bukan soal membiarkan atau tidak. Kita ini sedang membahas identitas Islam dalam konteks lokal, bukan sekadar isu adat kampung."
Maksad tersenyum tipis, wajahnya tetap tenang, seperti seorang bapak yang menanggapi anak-anak yang bertengkar. "Kau terlalu serius, Irlina. Tapi, baiklah, kalau begitu, aku akan serius. Kupikir Hidaya benar, ada sisi budaya yang harus kita pahami dulu sebelum menghakimi. Patuntung itu punya akar sejarah."
Irlina menghela napas panjang, jelas ada kemarahan yang coba ia tahan. "Sejarah dan adat boleh saja ada, tapi kita bicara tentang batas syariat! Kalau semua dianggap boleh karena budaya, bukankah akhirnya batas itu jadi tak jelas?"
Aku merasakan ketegangan itu, bagai udara yang pekat menekan di ruangan. Hidaya menggeleng pelan, kali ini menatap Irlina dengan sorot mata lembut namun penuh keyakinan. "Irlina, Islam tidak selalu sesempit batas-batas yang kita tetapkan. Bagi orang-orang Patuntung, mungkin mereka memaknai Islam dengan cara yang berbeda, namun itu bukan alasan kita untuk menyingkirkan mereka dari ruang Islam itu sendiri."
Senyum Maksad meluas, sedikit menyulut api pada Irlina. "Ya, Irlina, mungkin kau yang terlalu saklek di sini."
Mendengar itu, Irlina bangkit sedikit dari kursinya, seolah hendak menegaskan sesuatu. "Jangan salahkan aku jika aku berpegang pada prinsip. Islam adalah agama yang punya aturan jelas. Kalau kita terus memberi ruang untuk penyimpangan, apa yang akan tersisa?"
Hidaya menatap Irlina lama, nadanya tetap kalem tapi sarat penekanan. "Tapi kita ini sedang mencari pemahaman, Irlina, bukan penghakiman. Bukankah penting bagi kita untuk mendekati mereka dengan terbuka, mencoba memahami keislaman mereka dalam konteks budaya Patuntung?"
Maksad menyela lagi, suaranya sedikit meremehkan. "Kalau terus dibahas, perdebatan ini bisa bertahun-tahun. Toh mereka sudah hidup seperti itu selama berabad-abad. Biarkan saja, selama tak mengganggu."
Hidaya menatap Maksad dengan senyum tipis, kali ini menyiratkan rasa iba. "Maksad, terkadang kau bicara seakan masalah ini begitu sederhana. Tapi yang kita bahas ini adalah identitas. Orang Patuntung tetaplah bagian dari umat yang mungkin tak kau pahami."
Aku terdiam, menyaksikan pertempuran pandangan yang tiada berujung. Masing-masing mereka seolah menapaki jalan yang berbeda, membawa pemahaman yang tak akan pernah berjumpa. Namun, di balik ketegangan ini, aku menyadari sesuatu yang lebih dalam. Perbedaan mereka adalah bagian dari pencarian, bukan perpecahan. Dalam ruang kecil ini, di antara kata dan argumentasi, mereka saling menguji, bukan untuk menang, tetapi untuk menemukan kebenaran.
Hening sesaat menguasai ruangan, ketika Hidaya menundukkan kepala, seolah memilih kata yang tak akan melukai. "Mungkin, apa yang kita lakukan malam ini adalah bagian dari menghormati jalan mereka, memaknai Islam dengan cara yang lain. Siapa tahu, kita belajar dari mereka tentang Islam yang lebih inklusif?"
Irlina akhirnya terdiam, matanya masih menyala, namun kini ada kebijaksanaan baru yang mulai menyusup ke dalam pandangannya. Maksad menyandarkan tubuhnya, melepaskan napas panjang.
Aku tahu, malam itu, kami tak menemukan jawaban pasti. Namun, kami menemukan penghargaan baru atas keberagaman yang jarang tersentuh oleh hati kami. Sebuah pengakuan bahwa, meski berbeda jalan, tiap-tiap kita sedang mencari cahaya di sudut keyakinan masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H