Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencari Cahaya di Balik Patuntung

3 November 2024   01:55 Diperbarui: 3 November 2024   03:13 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku merasakan ketegangan itu, bagai udara yang pekat menekan di ruangan. Hidaya menggeleng pelan, kali ini menatap Irlina dengan sorot mata lembut namun penuh keyakinan. "Irlina, Islam tidak selalu sesempit batas-batas yang kita tetapkan. Bagi orang-orang Patuntung, mungkin mereka memaknai Islam dengan cara yang berbeda, namun itu bukan alasan kita untuk menyingkirkan mereka dari ruang Islam itu sendiri."

Senyum Maksad meluas, sedikit menyulut api pada Irlina. "Ya, Irlina, mungkin kau yang terlalu saklek di sini."

Mendengar itu, Irlina bangkit sedikit dari kursinya, seolah hendak menegaskan sesuatu. "Jangan salahkan aku jika aku berpegang pada prinsip. Islam adalah agama yang punya aturan jelas. Kalau kita terus memberi ruang untuk penyimpangan, apa yang akan tersisa?"

Hidaya menatap Irlina lama, nadanya tetap kalem tapi sarat penekanan. "Tapi kita ini sedang mencari pemahaman, Irlina, bukan penghakiman. Bukankah penting bagi kita untuk mendekati mereka dengan terbuka, mencoba memahami keislaman mereka dalam konteks budaya Patuntung?"

Maksad menyela lagi, suaranya sedikit meremehkan. "Kalau terus dibahas, perdebatan ini bisa bertahun-tahun. Toh mereka sudah hidup seperti itu selama berabad-abad. Biarkan saja, selama tak mengganggu."

Hidaya menatap Maksad dengan senyum tipis, kali ini menyiratkan rasa iba. "Maksad, terkadang kau bicara seakan masalah ini begitu sederhana. Tapi yang kita bahas ini adalah identitas. Orang Patuntung tetaplah bagian dari umat yang mungkin tak kau pahami."

Aku terdiam, menyaksikan pertempuran pandangan yang tiada berujung. Masing-masing mereka seolah menapaki jalan yang berbeda, membawa pemahaman yang tak akan pernah berjumpa. Namun, di balik ketegangan ini, aku menyadari sesuatu yang lebih dalam. Perbedaan mereka adalah bagian dari pencarian, bukan perpecahan. Dalam ruang kecil ini, di antara kata dan argumentasi, mereka saling menguji, bukan untuk menang, tetapi untuk menemukan kebenaran.

Hening sesaat menguasai ruangan, ketika Hidaya menundukkan kepala, seolah memilih kata yang tak akan melukai. "Mungkin, apa yang kita lakukan malam ini adalah bagian dari menghormati jalan mereka, memaknai Islam dengan cara yang lain. Siapa tahu, kita belajar dari mereka tentang Islam yang lebih inklusif?"

Irlina akhirnya terdiam, matanya masih menyala, namun kini ada kebijaksanaan baru yang mulai menyusup ke dalam pandangannya. Maksad menyandarkan tubuhnya, melepaskan napas panjang.

Aku tahu, malam itu, kami tak menemukan jawaban pasti. Namun, kami menemukan penghargaan baru atas keberagaman yang jarang tersentuh oleh hati kami. Sebuah pengakuan bahwa, meski berbeda jalan, tiap-tiap kita sedang mencari cahaya di sudut keyakinan masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun