Langit malam bergantung berat di luar jendela ruang kelas kami, menyelimuti gedung dengan keheningan yang ganjil. Di sini, di ruangan kelas doktoral ini, kami duduk melingkar seperti pemain teater yang menanti giliran bicara. Pertemuan kali ini lebih senyap dari biasanya, namun di balik wajah-wajah yang tenang, ada percikan api yang mulai terkuak.
Rahmah, Umar, Samuel, dan aku adalah bagian dari lingkar ini—orang-orang yang dipertemukan nasib di dalam labirin gagasan dan teori. Rahmah, sosok yang wajahnya selalu tenang, kini duduk memandang kosong. Umar, pendiam namun kritis, tampak tekun mencatat sesuatu. Samuel, dengan senyum selengeannya yang khas, menyesuaikan posisi duduknya, siap dengan argumen yang barangkali lebih seperti bom waktu.
Malam itu, perdebatan soal “otentisitas penelitian” tak lagi sekadar menjadi diskusi akademik. Ini sudah menjadi soal prinsip, pandangan hidup, dan entah, mungkin juga harga diri.
“Saya rasa, penelitian yang kita lakukan harus punya dampak nyata. Teori bisa saja panjang, tapi jika itu tidak memberi solusi, bukankah hanya jadi tumpukan kertas yang segera terlupakan?” ujar Rahmah dengan nada suara yang lembut namun tegas.
Samuel terkekeh, pandangannya tertuju pada Rahmah. "Tapi, Rahmah, kadang justru teori itu yang membuka jalan untuk perubahan. Kau terlalu memikirkan dampak praktis, seperti tidak percaya kalau teori bisa berdiri sendiri.”
Rahmah menatap Samuel, matanya penuh keyakinan. "Bukan berarti aku tak percaya teori, Samuel, tetapi apa gunanya jika itu hanya mengisi ruang kosong di kepala orang-orang tanpa pernah menyentuh kenyataan? Penelitian akademik mestinya mengakar, bukan sekadar mengawang.”
Samuel mendengus, kali ini ia sedikit serius. “Tapi kenapa penelitian harus tunduk pada hasil nyata, Rahmah? Bukankah ilmu pengetahuan berkembang dari pertanyaan abstrak yang awalnya hanya dianggap angan-angan?”
Aku merasa ketegangan di antara mereka mulai merayap. Seperti minyak yang menyelimuti air, pandangan mereka tak menyatu. Sementara itu, Umar yang sedari tadi diam akhirnya mengangkat pandangan. Suaranya tenang, seperti angin yang berembus di antara dinding perdebatan.
“Kalau boleh, aku menambahkan," Umar berkata, perlahan tapi mantap. "Menurutku, keduanya bisa sejalan. Rahmah benar soal pentingnya dampak nyata, tapi Samuel juga punya poin—kadang, perubahan besar bermula dari pemikiran yang abstrak, yang baru bertumbuh lama kemudian."
Aku melihat ekspresi Rahmah sedikit melunak. Meski pendiriannya tak tergoyahkan, ada penghargaan di matanya untuk Umar, sosok yang jarang bicara tetapi begitu tajam ketika mengeluarkan pendapat. Samuel, di sisi lain, menyandarkan tubuhnya ke kursi, tak bisa menyembunyikan senyum tipis yang nampak setuju.
Namun, Rahmah tidak mundur. “Umar, aku paham maksudmu. Hanya saja, terlalu banyak teori yang hanya indah di atas kertas. Kita ini mahasiswa doktoral, sudah seharusnya kita membawa manfaat bagi masyarakat luas, bukan terjebak dalam pusaran teori yang kadang hanya relevan bagi kita sendiri.”