Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senandung Pikir di Sudut Ruang Doktoral

1 November 2024   20:58 Diperbarui: 3 November 2024   09:54 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Samuel tertawa kecil, kali ini tampak lebih santai. “Rahmah, kau bicara seperti aktivis. Kita ini akademisi. Jika semua orang hanya berpikir soal dampak langsung, penelitian itu tak akan ada yang murni lagi. Siapa yang akan meneliti langit kalau semua orang hanya sibuk dengan hal-hal di bumi?”

Rahmah menoleh, matanya bersinar penuh semangat. “Dan siapa yang akan memperhatikan bumi kalau semua orang sibuk di langit, Samuel? Kita ini hidup di dunia nyata, bukan dunia ideal. Meneliti bukanlah sekadar merenung; ia punya tanggung jawab.”

Aku mendapati diriku terhanyut dalam percakapan mereka, menyadari betapa berbedanya pandangan yang mereka bawa. Masing-masing dari mereka adalah riak dari arus yang berbeda, bergerak ke arah yang mereka yakini benar. Rahmah adalah perwujudan semangat pragmatis yang ingin melihat ilmu hidup di tengah masyarakat. Sementara Samuel adalah pelopor ide, menantang dunia dengan gagasannya yang berani. Umar, dengan segala ketenangannya, adalah penyeimbang, sosok yang selalu menyisipkan kebijaksanaan di antara derasnya perbedaan.

Di tengah percakapan itu, Umar, yang biasanya mengalah dan mengizinkan pendapat berlalu, menyela lebih panjang dari biasanya. “Rahmah, Samuel, bukankah kita belajar di sini untuk menemukan jembatan di antara keduanya? Masyarakat butuh dampak, dan dunia akademik butuh pemikiran yang abstrak. Jangan sampai kita mengorbankan yang satu demi yang lain.”

Ruangan hening sejenak, suara Umar seperti aliran sungai yang menyapu tepi dan mendamaikan arus. Aku melihat Rahmah tersenyum tipis, tanda ia mulai menerima bahwa mungkin, hanya mungkin, ada sedikit kebenaran di pihak Samuel.

Samuel menunduk, matanya melembut. “Kau benar, Umar. Mungkin aku terlalu mengawang, dan mungkin Rahmah benar soal urgensi dunia nyata. Tapi aku tetap merasa bahwa kita harus membiarkan penelitian berkembang dengan leluasa.”

Rahmah pun mengangguk, kali ini dengan senyuman penuh kedamaian. “Dan aku mengerti, Samuel. Terlalu keras aku bersikeras pada hal yang praktis. Tetapi itulah kita, kan? Dunia ini memang ruang saling mengisi.”

Malam itu, aku menyaksikan persahabatan kami diuji oleh perdebatan dan pandangan hidup yang berseberangan. Namun, seperti senja yang akhirnya menyatu dengan malam, pendapat mereka akhirnya bertaut, membentuk harmoni yang unik di sudut ruang kelas doktoral kami.

Perjalanan ini, aku sadar, bukan hanya tentang gelar atau kertas-kertas tebal yang penuh catatan. Ini adalah perjalanan memahami satu sama lain, menghargai perbedaan pandangan, dan belajar bahwa, pada akhirnya, kita adalah manusia yang berusaha mencari kebenaran, apa pun wujudnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun