Mohon tunggu...
Jamal Arifansyah
Jamal Arifansyah Mohon Tunggu... Guru - Akademisi Magister Ilmu Sosial. Pengajar Sosiologi.

Pemerhati Isu Sosial-Budaya dan Politik-Hukum Indonesia. Senang Membaca berita dan Menulis esai. Penggemar Sepakbola ala Eropa. Pengagum Mahfud MD dan Gus Baha. Pecinta kuliner Indonesia 🇮🇩

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dominasi Jawa dan Politik Kaum Tersandera; Mungkinkah Pilpres Satu Putaran?

10 Februari 2024   11:32 Diperbarui: 10 Februari 2024   19:22 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inkonsistensi karena tersandera

Dalam politik, ada istilah yang familiar kita dengar yaitu "lidah tak bertulang". Ungkapan tersebut merupakan gambaran bahwa para politisi sering kali tidak mampu menjaga konsistensi dari ucapan maupun sikapnya. Dalam satu waktu, pandangan maupun sikapnya seolah menggambarkan bahwa ia adalah tokoh pembawa angin segar demokratisasi, namun di waktu yang lain ia bisa berbalik menjadi pendukung nepotisme dan politik dinasti. Pada satu kesempatan ia menyatakan tekadnya memberantas korupsi dengan transparansi, namun di kesempatan yang lain ia justru secara terbuka melakukan politisasi bantuan sosial demi ambisi pribadi. Demikian lah realitas politik yang terjadi.

Inkonsistensi seperti demikian yang menyebabkan banyak pihak-pihak begitu mudah tersandera oleh ke-tidak konsistenan dari sikap maupun kebijakan politik yang dibuat. Kemerdekaan mereka dalam menyuarakan ide dan gagasannya menjadi terpasung. Sebagaimana cuitan dari twit Mahfud MD di akun X nya, yang berbunyi "Selama engkau tidak bicara maka engkau bisa menguasai dan mengawasi pembicaraanmu, tetapi begitu engkau bicara maka engkau dan kemerdekaanmu akan dikuasai oleh ucapanmu". Mereka tersandera oleh kesalahan masa lalu sehingga hal tersebut menjadi "kartu truf" bagi pihak-pihak yang mengetahui konspirasi tersebut. Celakanya hal tersebut juga digunakan untuk kepentingan elektoral dengan cara menjerat dan memaksa agar memberikan dukungan.

Dalam konteks dinamika politik saat ini, beberapa contoh inkonsistensi yang ditengarai akibat dari sandera politik bisa kita temukan. Setidaknya tokoh pejabat wilayah Jawa Timur, dan Jawa Barat menjadi contohnya. Ridwan Kamil, mantan Gubernur Jawa Barat, sebelumnya menyatakan dalam wawancara di kanal media podcast bahwa kita jangan memilih pemimpin nasional hanya karena faktor usia, meskipun muda namun bila track recordnya belum teruji, apalagi ikut kontestasi pemilu karena nepotisme dan dinasti politik keluarga maka yang seperti itu tidak layak dipilih. Namun yang terjadi saat ini, justru ia menjadi ketua tim kampanye daerah (TKD) wilayah Jawa Barat untuk pasangan calon yang justru sebelumnya ia kritisi proses social elevator nya dan bahkan tidak ia dukung.

Demikian pula dengan Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur yang saat ini masih aktif menjabat. Ia tersandera oleh kasus suap dana hibah yang melibatkan tersangka wakil ketua DPRD Jawa Timur. Berdasarkan penggeledaahan dan hasil penyidikan oleh pihak KPK, ternyata dana hibah tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Jawa Timur sehingga diduga kuat dalam proses perencanaan penganggaran melibatkan pejabat di lingkungan eksekutif dan legislatif. Akibat sandera politik tersebut, dan tentunya misi untuk mendapatkan dukungan partai politik untuk meraih tiket berlaga kembali menjadi gubernur periode kedua, akhirnya Khofifah juga menjadi tim sukses pemenangan salah satu kontestan untuk wilayah Jawa Timur.

Membendung kecurangan Pemilu 

Dinamika politik memang tidak bisa dilepaskan dari potensi inkonsistensi dan berbagai intrik. Hal ini menyebabkan sulitnya masyarakat menemukan tokoh publik yang bisa menjadi contoh dalam menjaga integritas dan independensi dalam menyatakan sikap dan kebijakan. Ironisnya hal ini juga menjadi sebab para politisi, pejabat publik, maupun tokoh profesional menjadi tersandera dan dimanfaatkan oleh segelintir elit politik untuk kepentingan elektoral mereka.

Fenomena politik tersebut akhirnya dijadikan argumentasi oleh kalangan elit partai politik yang tergabung dalam koalisi di pemerintahan untuk menyuarakan pemilu satu putaran. Dalih efisiensi anggaran dijadikan sebagai alasan tambahan sebagai pembenarnya. Bagi kelompok mereka, berbagai cara dilakukan, jalur darat maupun udara. Para pejabat struktural daerah yang memiliki koneksi dengan pemerintah, "dikerahkan". Intimidasi oleh oknum aparat dilakukan kepada tim kampanye pihak lawan, atau melalui penggiringan opini oleh hasil survei Lembaga survei yang tidak mampu menjaga independensinya.

Misi Pemilu satu putaran melalui intimidasi, sandera politik, maupun pelanggaran etika menimbulkan reaksi keras di masyarakat, terutama dari para cendekiawan. Para Asosiasi Guru Besar dari berbagai universitas berharap tidak terjadi penurunan kualitas demokrasi. Mereka menyerukan pemilu damai dan tidak boleh ada penyalahgunaan kekuasaan hanya untuk kepentingan elektoral segelintir orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun