Mohon tunggu...
Jamal Arifansyah
Jamal Arifansyah Mohon Tunggu... Guru - Akademisi Magister Ilmu Sosial. Pengajar Sosiologi.

Pemerhati Isu Sosial-Budaya dan Politik-Hukum Indonesia. Senang Membaca berita dan Menulis esai. Penggemar Sepakbola ala Eropa. Pengagum Mahfud MD dan Gus Baha. Pecinta kuliner Indonesia 🇮🇩

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bonus Demografi dan Politik Citra di Sosial Media

26 Januari 2024   09:15 Diperbarui: 27 Januari 2024   09:55 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilu tahun ini semakin menarik karena bertambahnya peserta pemilu dari kelompok usia pemilih muda, yaitu generasi Z dan milenial. Berdasarkan hasil rekapitulasi DPT dari KPU, mayoritas pemilih Pemilu 2024 didominasi dari kelompok generasi Z dan milenial.

Sebanyak 66.822.389 atau 33,60% pemilih dari generasi milenial. Generasi milenial adalah sebutan untuk orang yang lahir pada rentang tahun 1980 hingga 1994. Sedangkan pemilih dari generasi Z adalah sebanyak 46.800.161 pemilih atau sebanyak 22,85% dari total DPT Pemilu 2024. Adapun sebutan generasi Z merujuk pada orang yang lahir mulai 1995 hingga 2000-an.

Jika diakumulasikan, total pemilih berdasarkan segmentasi usia, kelompok generasi milenial dan generasi Z berjumlah lebih dari 113 juta pemilih. Kedua generasi ini mendominasi pemilih pada Pemilu 2024, yakni sebanyak 56,45% dari total keseluruhan pemilih. Selain itu, kelompok pemilih dari generasi X yang menyusul di urutan berikutnya yaitu sebanyak 57.486.482 atau 28,07% dari total pemilih. Generasi X adalah orang kelahiran 1965 hingga 1979.

Segmentasi anak muda atau Gen Z memiliki daya tarik tersendiri dalam Pilpres 2024. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat bangsa Indonesia dalam kurun waktu 2020-2035 akan mengalami bonus demografi, yaitu suatu kondisi ketika postur penduduk sebuah negara didominasi oleh penduduk usia produktif atau 60 persen di antaranya adalah penduduk berusia 15-64 tahun.

Generasi Z, identik dengan hal-hal baru dan terbuka terhadap isu global, kini memiliki peran penting dalam menentukan arah Indonesia. Kesadaran mereka terhadap peran dalam pemerintahan dan partisipasi dalam Pemilu 2024 menjadi kunci untuk memaksimalkan bonus demografi ini. Keterbukaan akan akses teknologi dan informasi menyebabkan generasi ini lebih suka berdiskusi secara terbuka dan dua arah, sehingga dalam praktiknya, Gen Z cenderung lebih rasional dalam memutuskan siapa figur yang akan dipilih.

Generasi Z dan milenial dikenal sebagai kaum muda yang tumbuh bersama teknologi. Berdasarkan hasil riset dari We Are Social mengungkapkan bahwa masyarakat digital (netizen) Indonesia yang menggunakan internet menembus angka 212,9 juta pengguna, sedangkan khusus untuk media sosial di Indonesia, We Are Social mengungkapkan penggunanya sampai di angka 167 juta atau 60,4% dari total populasi Nasional.  

Lima platform media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak di Indonesia yaitu Facebook mencapai 119,9 juta, YouTube mencapai 139 juta, Instagram mencapai 89,15 juta, TikTok mencapai 109,9 juta, dan Twitter mencapai 24 juta. Banyaknya animo generasi muda dalam menggunakan media sosial akhirnya dijadikan sebagai panggung kampanye bagi para kontestan untuk mem branding dan membangun citra politik yang menarik.

Media sosial menawarkan jangkauan yang luas dan potensi viralitas yang memungkinkan kampanye untuk mencapai publik secara efektif. Media sosial juga memberikan kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan pemilih melalui komentar, pesan pribadi, atau poling. Kemampuan untuk berkomunikasi secara langsung dengan pemilih, dapat dimanfaatkan oleh para kontestan untuk membantu membangun hubungan yang lebih dekat, mendengarkan masukan, dan merespon kebutuhan mereka.

Berdasarkan pantauan akun media sosial para kontestan yang penulis lakukan hingga 18 Januari 2024, Capres nomor urut 1 Anies Baswedan menggunakan platform Instagram yang hingga kini sudah diikuti oleh 6,6 juta pengikut. X (twitter) dengan 5 juta pengikut, youtube dengan 628 ribu subscriber, facebook sebanyak 2 juta pengikut, serta TikTok sebanyak 1,3 M pengikut. Sedangkan Cawapres nya Muhaimin Iskandar menggunakan platform Instagram yang diikuti oleh 2,4 juta pengikut. X (twitter) dengan jumlah 341,7 ribu pengikut, youtube dengan 79,5 ribu subscriber, facebook dengan jumlah 1,1 juta pengikut, serta TikTok sebanyak 190.0 K pengikut.

Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto menggunakan platform Instagram yang hingga kini sudah diikuti oleh 8,7 juta pengikut. X (twitter) dengan 4,7 juta pengikut, facebook sebanyak 10 juta pengikut, serta TikTok sebanyak 251.1 K pengikut. Sedangkan Cawapres nya Gibran Rakabuming Raka menggunakan platform Instagram yang diikuti oleh 2 juta pengikut. X (twitter) dengan 1,3 juta pengikut, youtube dengan 30,4 ribu subscriber, facebook dengan 179 ribu pengikut, serta TikTok sebanyak 899,4 K pengikut.

Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo menggunakan platform Instagram yang hingga kini sudah diikuti oleh 6,5 juta pengikut. X (twitter) dengan 3,5 juta pengikut, youtube dengan 2,35 juta subscriber, facebook sebanyak 2,3 juta pengikut, serta TikTok sebanyak 7,4 M pengikut. Sedangkan Cawapres nya Mahfud MD menggunakan platform Instagram yang diikuti oleh 1,3 juta pengikut. X (twitter) dengan 4,4 juta pengikut, facebook dengan 114 ribu pengikut, serta TikTok sebanyak 132.4 K pengikut.

Perbandingan jumlah pengikut (followers maupun subscribers) para kontestan, memberi gambaran bahwa masing-masing kontestan memiliki jumlah pengikut yang banyak. Para calon Presiden memiliki tingkat popularitas tinggi yang cukup berimbang. Prabowo sangat popular dan mendominasi platform Facebook, Ganjar sangat popular dan mendominasi platform TikTok dan Youtube, sedangkan popularitas Anies belum cukup mampu mendominasi kedua kompetitornya di berbagai platform sosial media meskipun mampu bersaing di Instagram dan X (twitter).

Adapun perbandingan popularitas calon Wakil Presiden di dunia maya juga cukup berimbang. Popularitas Muhaimin cukup mendominasi di platform Facebook, Gibran popular dan cukup mendominasi platform TikTok, sedangkan Mahfud sangat popular dan mendominasi platform X (twitter). Di platform Instagram, popularitas Muhaimin dan Gibran cukup berimbang.

Tingginya tingkat keterkenalan (popularitas) memang tidak menjamin selaras dengan tingkat keterpilihan (elektabilitas). Hal ini dikarenakan indikator masing-masing yang membedakan. Popularitas biasanya berkenaan dengan seberapa aktif kontestan tersebut di sosial media hingga diketahui dan dikenali banyak orang, sedangkan elektabilitas berkaitan dengan seberapa kompeten kontestan tersebut mampu menyelesaikan berbagai masalah hingga dipercaya banyak orang layak menjadi pemimpin. 

Realitas politik elektoral tersebut akhirnya menyebabkan para kontestan berlomba-lomba membuat acara yang melibatkan relawan, simpatisan, maupun masyarakat umum. Mereka memanfaatkan acara tersebut sebagai panggung untuk menyampaikan visi-misi, kebijakan, hingga pengalaman (track record) di pemerintahan.

Pasangan Anies dan Muhaimin membuat acara Desak Anies dan Slepet Imin. Sedangkan pasangan Ganjar dan Mahfud membuat acara RembuGanjar Gerak Cepat dan Tabrak, Prof!. Dari acara tersebut tercerminkan kesan bahwa kedua pasangan kontestan ingin diidentikkan sebagai calon pemimpin intelektual modern, namun tetap merakyat, dan islami.

Berbeda dengan dua pasangan kontestan yang lain, Prabowo dan Gibran menggunakan strategi yang tampaknya berbeda. Konten kampanye yang diviralkan di media sosial melibatkan kecerdasan buatan (AI). Nampaknya tim sukses pasangan ini ingin menonjolkan branding lucu dengan mempopulerkan istilah "Gemoy". Strategi ini diharapkan efektif menarik atensi dari generasi millenial, lebih-lebih gen Z yang memang sangat tinggi interaksinya di media sosial.

Nampaknya, Tim kampanye pasangan ini sengaja membuat branding baru, utamanya untuk Prabowo, dikarenakan citra yang selama ini selalu digaungkan sebagai "Macan ASIA" nampaknya tidak efektif (setidaknya dalam dua kali pemilu pilpres sebelumnya), dan kurang populis untuk kalangan generasi muda yang identik dengan kebebasan. Namun strategi ini dihawatirkan hanya mengandalkan gimmik-gimmik politik, memoles citra tampilan tanpa terlalu memedulikan substansi gagasan. Strategi ini cenderung digunakan untuk menutupi jejak-jejak masa lalu yang kontroversial, pelanggaran etika dalam konstitusi, atau bahkan menyimpan problem besar yang belum terselesaikan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun