Mohon tunggu...
Jaludieko Pramono
Jaludieko Pramono Mohon Tunggu... -

Wong kang wus sengsem reh ngasamun, semune ngaksama, sasamane bangsa sisip, sarwa sareh saking mardi marto tama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sidoarjo, Pusat Industri Gula Paling Potensial Di Masa Kolonial

24 Agustus 2013   11:25 Diperbarui: 4 April 2017   17:29 2646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lintas Sejarah Industrialisasi Sidoarjo

Oleh : Jaludieko Pramono

Kian matangnya usia Sidoarjo, membuat Kabupaten di sisi selatan Kota Surabaya ini kian berkembang. Laju investasi dari para pemodal, baik lokal maupun asing terus mengucur. Data yang dilansir Dinas Koperasi dan UMKM menyebut, tahun ini ada sekitar 16 ribu sektor produksi yang memutar roda usahanya di kota Delta. Mulai yang berskala mikro hingga pabrikan bermodal raksasa.

Belum lagi dengan pembangunan kawasan pemukiman yang terus membuka lahan-lahan baru hampir di semua sudut Sidoarjo. Hal ini tak lepas dari langkah para investor dalam membaca peluang bisnis yang cerah.

Sejarah memang menunjukkan bahwa sejak awal mulanya, kawasan Sidoarjo memiliki potensi besar di sektor industri, terutama di sektor usaha pengolahan berbasis pertanian. Karakteristik lahan delta yang subur menjadikan Sidoarjo sebagai lumbung berbagai hasil pertanian yang kemudian bisa diolah menjadi berbagai komoditas dagang untuk konsumsi lokal maupun ekspor.

Salah satu bukti sejarah yang masih ada hingga kini adalah Candi Pari di Porong yang dibangun pada jaman Majapahit, tepatnya di tahun 1293 Caka atau 1371 M. Sebagaimana tertulis dalam Kitab Negara Krtagama, candi ini dibangun atas perintah Raja Hayam Wuruk sebagai bentuk ucapan syukur karena menjadikan kawasan di sekitarnya lumbung pangan bagi kerajaan Majapahit.

Pemerintah kolonial Belanda juga jeli melihat potensi itu. Di sekitar tahun 1800-an, para pengusaha Cina yang didukung pemerintah kolonial Belanda mulai menjadikan Sidoarjo sebagai salah satu sentra produksi gula.

Areal persawahan bahkan lahan-lahan kering disulap menjadi kebun-kebun tebu. Berikutnya, pabrik-pabrik gula pun didirikan. Sejarah mencatat ada sekitar 10 pabrik tebu yang pernah berdiri di Sidoarjo. Mulai dari Ketegan – Taman, Sruni – Gedangan, Buduran, Candi, Tulangan, Krembung, Wonoayu, Krian hingga Watu Tulis – Prambon.

Ada yang menyebut, industri gula di sioarjo pada masa itu merupakan yang paling potensial dari industri serupa di Nusantara. Pasalnya hanya Sidoarjo yang memiliki pabrik gula sebanyak itu setelah pabrik-pabrik gula di kawasan Batavia dan sekitarnya runtuh satu persatu.

Dari jumlah itu yang tersisa hingga saat ini tinggal Pabrik Gula Candi, Tulangan, Krembung dan Prambon. Sisanya tak lagi beroperasi. Sisa-sisa bangunannya pun berbeda nasibnya. Pabrik Gula Sruni misalnya kini berubah wujud menjadi Markas Arhanudse. Sementara di Wonoayu kini menjadi Mapolsek, Kantor Camat, Puskesmas dan lain sebaginya.

Sementara pabrik gula di Ketegan, Buduran dan Krian malah hancur lebur tak berjejak. Kalaupun masih ada yang ditinggalkan, sebagian sudah berbentuk bangunan tua tak terawat yang terkesan kumuh dan angker.

Untuk mendukung kelancaran industri, pemerintah kolonial Belanda di saat itu juga telah menyiapkan sarana dan prasarana trasportasi tercanggih pada jamannya. Apalagi kalau bukan jaringan rel kereta api.

Masih terlihat bekas-bekasnya jika pada masa jayanya, Sidoarjo memiliki jaringan jalur kereta api yang padat. Tentu pada awalnya bukan maksud Belanda untuk mewariskan teknologi hebat ini, tujuannya adalah memperkuat hegemoni kolonial di negara jajahannya. Jaringan transportasi tersebut dibangun dengan beberapa tujuan.

Diantaranya sebagai jalur politis, yakni guna mengontrol wilayah jajahannya. Yang kedua adalah sebagai jalur militer, yakni untuk memudahkan distribusi tentara dalam melakukan ekspansi, pengamanan atau pergerakan posisi. Dan yang terakhir adalah sebagai jalur ekonomi. Yaitu untuk memudahkan transportasi bahan baku dan hasil pabrikan, dalam hal ini tentu saja pabrik-pabrik gula tadi.

Di Sidoarjo, saat ini, terdapat dua lintasan kereta api yang masih berfungsi, di sebelah timur kota dan barat kota. Lintasan di timur ini, selain menghubungkan Sidoarjo dengan kota-kota di belahan selatan Jawa Timur, juga menghubungkan kota-kota di Jawa timur bagian timur.

Sementara lintasan Barat menghubungkan Sidoarjo dengan Jawa Timur bagian tengah dan sampai ke Jawa Barat, jika anda akan ke Jakarta, lintasan ini kerap di sebut “jalur Selatan”. Selain jalur kereta, di wilayah Sidoarjo juga terdapat stasiun-stasiun yang tersebar di sepanjang kedua jalur itu. Dibanding dengan jalur selatan, jumlah stasiun di jalur timur jauh lebih banyak.

Sebenarnya Sidoarjo tidak cuma memiliki dua lintasan itu. Pada jaman Belanda terdapat lagi sebuah lintasan yang membelah tengah kota Sidoarjo dan menghubungkan jalur timur dan barat. Keberadaan jalur itu bisa disaksikan hingga sekarang. Bukti fisiknya adalah sebuah lajur rel Kereta ke arah barat di perbatasan desa Tenggulunan dan Sumokali, kecamatan Candi. Bukti fisik lainnya adalah reruntuhan sebuah komplek stasiun di daerah Tulangan.

Selain itu juga terdapat bukti tertulis berupa peta dari jaman Belanda. Dimana peta itu bayak digunakan oleh para keluarga Belanda di Jawa Timur pada tahun 1900. Berdasarkan peta itu terlihat jalur Kereta Api yang mengurung Sidoarjo di timur dan barat kota.

Tampak di sana kedua jalur itu terpecah dari stasiun Gubeng (sekarang Stasiun Surabaya Kota). Di peta ini tergambar bahwa kedua jalur itu dihubungkan oleh sebuah lintasan antara Sidoarjo dan Tarik. Semua lintasan ini bersifat ekonomi karena sengaja di bangun sejalur atau berdekatan dengan komplek industri (lingkaran kecil) yang menyebar di sekujur Sidoarjo.

Diawal telah disebutkan tentang stasiun-stasiun yang ada di Sidoarjo. Pada jaman Belanda jumlah stasiun di Sidoarjo ada 12 bangunan yang berdekatan dengan komplek bangunan industri dan lembaga pemerintahan. Dari jalur timur terdapat stasiun Waru, Gedangan, Buduran, Sidoarjo, Tanggulangin dan Porong. Sementara di jalur tengah melewati stasiun Tulangan dan Watu tulis. Di barat terdapat stasiun Kejaten, Tropodo, Krian dan Tarik.

Selusin stasiun ini keberadaannya dimaksudkan untuk memudahkan distribusi bagi pabrik-pabrik di Sidoarjo, diantaranya ; pabrik gula di Candi, Tanggulangin, Krembung, Tulangan, Watutulis dan Krian. Diantara stasiun-stasiun ini separuh diantaranya sudah tidak berfungsi. Bahkan ada beberapa diantaranya sudah runtuh atau beralih fungsi.

Dari banyaknya jalur kereta dan stasiun ini menunjukkan bahwa Sidoarjo dari dulunya merupakan daerah industri yang maju. Bagaimana dengan sekarang? *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun