Mohon tunggu...
Rijal  Ashari
Rijal Ashari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Setetes Cerita dari Centre Point of Indonesia Umpungeng

6 Oktober 2016   20:21 Diperbarui: 11 Oktober 2016   20:46 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan saya dimulai salah satu rumah, tempat saya bersama Delapan orang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Negeri di Makassar, UNM. Kedatangan kami di kota yang termashur karena Kalong itu, tiada lain adalah menjalankan Tri Darma Perguruan Tinggi yang ketiga, yaitu pengabdian kepada masyarakat bersama dengan 83 mahasiswa lainnya yang tersebar di 10 posko Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Awan manis di pagi Rabu rawit nampaknya tak segalak Selasa kemarin. Di rumah yang hampir 90 persen bahan utamanya kayu ini. Setetes Cerita perjalanan dan sejarah akan saya bagi. Namun, bukan dari bagian tugas saya sebagai mahasiswa yang melaksanakan KKN di kabupaten tersebut. Melainkan salah satu kesempatan berharga bagi saya untuk menginjakkan kaki di salah satu tempat paling bersejarah, namun masih kurang dikenal sebagai sejarah oleh negara berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa ini. Sejatinya Desa Umpungeng adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng.

Jika Desa Iboih Ujung Ba’u Kecamatan Sukakarya Sabang, bangga sebagai titik nol Kilometer Indonesia, serta Distrik Sota di Merauke sebagai titik terjauh atau titik paling Timur Indonesia, memang sudah tak asing lagi di mata masyarakat, bahkan ke dua wilayah ini telah menjadi satu kesatuan yang kadang orang menyebutnya “Dari Sabang sampai Merauke”, takkalah sebuah lagu “Dari Sabang sampai Merauke” di ciptakan oleh seniman bangsa R. Soerardjo untuk kesatuan dua tempat ini. 

Di era pemerintahan BJ. Habibie, dibangun sebuah tugu di masing-masing tempat tersebut untuk menandai titik Barat dan Timur Indonesia di tahun 1997. Namun lain tempat lain cerita, kali ini adalah sebuah Desa bernama Umpungeng. Jika di ibaratkan pada manusia, ujung rambut manusia itu adalah Sabang dan ujung tungkai bawah adalah Merauke, sehingga Pusarnya mungkin bisa saya katakan adalah Desa Umpungeng.

Akhir-akhir ini nama Umpungeng, kian tersohor dan banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara, untuk melihat salah satu situs Megalitikum bersejarah (Garugae) yang kini diyakini sebagai Centre Point of Indonesia, atau titik tengah atau nol derajat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dari Ibukota Kabupaten Soppeng, bersama Pak Ukkas, salah satu anggota kepolisian Polres Soppeng. dengan mengendarai mobil pribadinya menekan gas bergeser ke arah selatan.

Untuk sampai di Umpungeng, ada beberapa jalur yang bisa ditempuh, salah satunya dengan masuk melalui Kecamatan Marioriwawo dan dilanjutkan dengan kendaraan bermotor menuju Desa Umpungeng. Juga, opsi lain dengan masuk di desa Umpungeng tepatnya di dusun Jolle, dengan berjalan kaki sekitar 4 jam melewati pegunungan yang banyak ditumbuhi oleh pohon Aren dan Pinus.

Namun kali ini, pak Ukkas yang juga selaku Bintara Pembina dan Keamanan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas), sedikit mengerucut kearah Barat sejauh 20 KM melewati kecamatan Liliriaja dan Marioriwawo yang merupakan jalur opsi pertama.

Setelah sampai di gerbang masuk desa Umpungeng, perjalanan nampaknya belum sepenuhnya berakhir, akan tetapi saya berasumsi bahwa titik star baru saja akan di mulai, akan tetapi hanya bersifat paradoks. Melanjutkan perjalanan menempu jarak sekitar 17 kilometer melewati pegunungan dengan sebuah ojek trail. Sehingga hanya ada satu jalan yaitu merogoh kocek sebanyak Rp100 untuk menyewa ojek. Ojek-ojek tersebut merupakan ojek khusus, yang memang hanya melayani perjalanan ke dusun Umpungeng. Tak seperti motor pada umumnya, motor jenis bebek yang digunakan tersebut pun telah di modifikasi layaknya motor trail.

Memulai perjalanan sebaiknya anda berdoa terlebih dahulu, serta mamakai perlengkapan yang aman seperti sepatu, jaket, helm atau topi dll. Berhubung perjalanan  cukup menantang dengan jalanan bebatuan licin ditambah jalur pendakian dan penurunan dengan kemiringan rata-rata 60 derajat. Selama perjalanan sesekali mata akan dimanjakan dengan deretan pohon Pinus yang menjulang ke langit, membawa suasana sejuk hutan pinus sepi menyejukkan. Sesekali mata kita nyalang menyaksikan petani-petani getah Pinus yang sibuk menyadap getahnya dengan irisan melingkar dibatangnya.

Patani getah pinus merupakan salah satu minoritas yang dimiliki oleh penduduk setempat. Hasil olahan getah pinus yang umum kita kenal adalah gondorukem dan minyak terpentin. Minyak terpentin biasanya digunakan sebagai pelarut untuk mengencerkan cat minyak, bahan campuran vernis yang biasa kita gunakan untuk mengkilapkan permukaan kayu. 

Aroma terpentin harum seperti minyak kayu putih, karena keharumannya itu terpentin bisa digunakan untuk bahan pewangi lantai atau pembunuh kuman yang biasa kita beli, tapi ada lagi kegunaan lain dari terpentin sebagai bahan baku pembuat parfum, bahan campuran minyak pijat. Salah satu bahan tambahan pembuatan permen karet sehinga menjadi kenyal dan lentur. Gondorukem sebagai hasil dari olahan getah pinus dapat dimanfaatkan antara lain, Industri Batik, Industri kertas, dan Industri sabun.

Hutan pinus di Soppeng menjadi yang terluas ke Tujuh setelah Tanah Toraja, Bone, Sinjai dan beberapa daerah lainnya di Sulawasi Selatan dengan luas 2.745 ha.

Sekitar setengah jam perjalanan, kita akan segera menemukan rumah-rumah penduduk yang  berada di Desa Umpungen dusun Bulu Batu, Bulu Batu dalam Bahasa Indonesia berarti Gunung Batu. Di dusun tersebut kita bisa istirahat sejenak di rumah-rumah warga yang semuanya merupakan rumah panggung. Bulu batu memiliki ketinggian 799 meter di bawah Permukaan Laut (Mdpl). 

Namun, untuk sampai ke dusun Umpungeng atau centre point of Indonesia, butuh perjalanan lagi sekitar 5 KM. Perjalanan kali ini kembali menantang dengan melewati lereng-lereng bukit dengan lebar jalanan hanya kisaran Satu meter yang melikuk hingga sampai di puncaknya. Dan jika Anda takut, Anda bisa memilih berjalan kaki ketimbang naik motor melewati lereng tersebut. 

img-20160825-174344-copy-57fcea740f9373d5468ddaf1.jpg
img-20160825-174344-copy-57fcea740f9373d5468ddaf1.jpg
Dan akhirnya Welcome to Centre Point of Indonesia. perjalanan sepanjang 17 KM memakan waktu kurang lebih Dua jam, berakhir dan dibayar tuntas dengan pemandangan nan-indah dari puncak gunung, gugusan lereng-lereng pegunungan memutari puncak umpungeng dipadu suhu dingin dan angin sejuk ”titik nol“ (begitu orang-orang menyebutnya) yang begitu bersahabat dan memanjakan. Sebuah batu tumpukan batu-batu cadah yang telah berwarna hitam seakan mewakili umurnya yang sudah ratusan tahun. 

Tinggi sekitar Tiga meter tersusun apik membentuk sebuah lingkaran tampak kokoh alami. Di atasnya terdapat jejeran batu melingkar, kira-kira besarnya menyerupai drum. Di salah satu sisinya terdapat sebuah batu tersusun menyerupai kursi yang di yakini sebagai tempat duduk utama.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
       
Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Syahdan barulah di tengah-tengah lingkaran batu tersebut terdapat batu yang timbul dari dasar tanah dengan diemeter sekitar 50 cm, diyakini sebagai (Posi’na Tanae) dalam Bahasa Indonesia adalah pusar tanah. Yang tiada lain adalah titik tengah atau titik nol derajat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Asal mula diketahuinya bahwa situs megalitik (Garugae-Red) di Desa Umpungeng, menurut cerita warga setempat karena berkat adanya salah satu warga asli Umpungeng yang konon katanya telah bekerja disalah satu perusahaan di Jakarta, beliaulah kemudian mempromosikan daerahnya dan belakangan mengukur dengan perhitungan titik koordinat, menemukan bahwa keyakinan para leluhur masyarakat Umpungeng jika pusat tanah, dalam artian pusat dari Indonesia tertanya betul. 

Setelah itu munculah beberapa mahasiswa dari berbagai Universitas yang melakukan penelitian terkait hal tersebut dan membuktikan bahwa pusat atau titik tengah dari Indonesia adalah desa umpungeng yang berada di Kabupaten Soppeng, Sulawasi Selatan.

Namun berbeda dengan Tugu Kembar yang ada di Sabang dan Merauke, di Umpungeng kita tidak akan menemukan tugu apalagi tulisan dari keramik yang menyatakan titik nol derajat, kita hanya akan menemukan sebuah batu yang seakan muncul daru dasar tanah yang konon menurut cerita rakyat Umpungeng, batu tersebut jika digali maka tidak akan pernah kita dapatkan dasarnya. 

Situs tersebut pun menjadi sangat disakralkan oleh masyarakat, tak salah bila pengunjung jika ingin melihat lebih dekat situs Garugae,  maka harus melepas alas kaki, dan sangat dihimbau untuk tidak mengucapkan kata-kata kasar saat berada di kawasan tersebut. Dengan kesakralan tersebut menurut cerita, masyarakat menolak jika nantinya akan dibangun sebuah tugu besar, karena hanya akan merusak salah satu peninggalan leluhur mereka.

Lanjut cerita, Kisah Garugae menurut hikayat masyarakat Umpungeng, “Dahulunya merupakan tempat pertemuan para raja-raja untuk mengadakan rapat. Dan cerita tersebut kian melekat di masyarakat Umpungeng hingga di kabarkan bahwa Arung Palakka yang tak lain adalah Raja Bone ke-15 pun pernah bersembunyi di sana ketika mendapat serangan dari Belanda,” Terang salah seorang tokoh masyarakat disana. Kemudian penelusuran saya kembali berlanjut, kini saya mendapat keterangan lain lagi dari masyarakat Umpungeng yang saya lupa namanya. Menurutnya, Desa ini dahulunya hanya dihuni oleh beberapa orang saja yang satu rumpun. 

Namun lama kemudian telah banyak pendatang. Akan tetapi, jaman kemerdekaan Republik Indonesia baru saja diraih, musibah melanda masyarakat Umpungeng. Konflik antar masyarakat pada saau itu membuat daerah tersebut sangat mencekam dengan banyaknya korban jiwa akibat perang saudara. Sehingga semua masyarakat satu persatu meninggalkan daerah tersebut dan mengungsi ke daerah lain. Akibatnya daerah ini menjadi tak berpenghuni selama beberapa tahun hingga konflik kian meredah.

Barulah pada tiga tahun berikutnya, masyarakat suku asli Umpungeng kembali berbondong-bondong menghuni daerah tersebut, karena tuntutan lahan pekerjaan yang dulunya mereka tinggali. Dan penduduk pun kian bertambah hingga saat sekarang ini dengan puluhan kepala keluarga. Sejauh penglihatan saya, Dusun Umpungeng baru memiliki fasilitas seperti Masjid, dan sebusah sekolah dasar. Untuk penerangan sendiri, masyarakat disana hanya mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang hanya berfungsi ketika musim penghujan tiba.

Inilah sedikit kisah perjalanan saya menuju Titik Tengah Indonesia yang ada di Dusun Umpungeng Desa Umpungeng Kabupaten Soppeng, dengan setetes sejarah klasik daerah tersebut. Perjalanan saya kesana tidaklah sendirian, namun ada ratusan orang yang juga berada di sana untuk mengikuti acara Pelantikan  Satuan Kerta Perangkat Daerah (SKPD) oleh Bupati baru yang menjabat sekarang. 

Harapannya dengan banyaknya stuktur pemerintahan yang menginjakkan kaki serta merasakan bagaimana susahnya perjalanan  untuk sampai disana, akan ada banyak kebijakan-kebijakan baru demi kesejahteraan masyarakat Umpungeng. Untuknya, marilah kita menjaga kesatuan bangsa ini, jangan biarkan jatuh di tangan asing, karena setiap daerah di Indonesia itu unik, unik karena punya sejarah dan budaya masing-masing. Itulah mengapa hanya di negeri ini yang lain tempatnya lain juga ceritanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun