Sejarawan Inggris Peter Carey dan temannya Vincent Houben melalui bukunya Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX seolah ingin mengingatkan bahwa bangsa Indonesia memiliki nenek moyang perempuan perkasa. Sebelum kelahiran R.A. Kartini, yang banyak dikenal masyarakat sebagai tokoh emansipasi dan setiap 21 April selalu diperingati secara nasional.
Kisah-kisah perempuan tangguh dan perkasa di tanah Jawa pada abad ke-18 dan ke-19 kala itu seperti lenyap dimakan waktu. Namun, kisah perempuan-perempuan perkasa itu lenyap diingatan masyarakat dan yang tumbuh justru ungkapan bahwa orang Jawa sebagai bangsa yang paling lembut di dunia (de Javaan als het zachste volk ter aard). Sedangkan perempuan-perempuan Jawa, khususnya dari kalangan elite dibingkai sebagai perempuan kalem dan lembut melalui karya sastra dan sandiwara karya pengarang kolonial Belanda.
Dalam beberapa karya sastra karangan sastrawan Belanda seperti Louis Couperus dalam roman De Srille Kracht (Kekuatan Gaib) dan karya J.B. Ruzius melalui karyanya berjudul Heilig Indie (Hindia Suci) menggambarkan sosok Raden Ayu sebagai boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri. Ini yang menjadi gambaran perempuan Jawa yang elok namun kepalanya kosong (hlm. 2).
Buku yang dibagi dalam 10 bagian ini, Peter Carey  dan  Vincent Houben menjelaskan ada sederet nama-nama perempuan di lingkungan elite yaitu di keraton Jawa serta perempuan dalam pewayangan. Ada Dewi Drupadi, istri Prabu Yudistira, yang menjadi salah satu ikon perempuan perkasa di dunia pewayangan, dalam kisahnya Drupadi bersumpah tidak akan mengonde rambutnya sebelum mandi darah Raden Dursosono. Ada juga Rarasati atau Dewi Woro Srikandi, istri Arjuna, yang piawai berperang dan menjadi salah satu panglima terkemuka Pandawa (hlm. 7). Dan nama-nama lain seperti Dewi Woro Sumbadra, Dewi Padi, dan Dewi Sri, yang ditampilkan sebagai perempuan sakti. Tidak ada kesan bahwa perempuan itu lemah dan berkepala kosong seperti kisah-kisah yang ditulis zaman kolonial.
Dalam sejarah Jawa pra-kolonial, ada perempuan yang berperan sebagai pengabsah wangsa dan wadah kesaktian. Ken Dedes, istri Ken Arok, dan Dewi Mundingsari, anak perempuan kedua Raja Sigaluh dari Pajajaran. Kedua perempuan ini disebut sebagai ardhanariswari atau perempuan terpilih di antara kaum hawa.
Keraton-keraton Jawa tengah selatan pada abad ke-18 dan ke-19 sangat erat dengan budaya mistik. Saat itu raja-raja Jawa juga menjalin hubungan dengan dewi-dewi perkasa seperti Batari Durga dan Ratu Kidul. Kala itu, posisi Ratu Kidul sangat penting bagi keberlangsungan keraton Jawa. Raja-raja di Jawa tengah selatan memiliki pertalian kekerabatan dengan penguasa di Jawa Berat juga melalui snag Ratu Kidul. Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan Ratu Kidul merupakan pelindung kerajaan Mataram dan istri gaib para raja. Â Â Â
Peter Carey dalam bukunya, Takdir ; Riwayat Pangeran Diponegoro(1785-1855), saat menginjak dewasa, Pangeran Diponegoro dikisahkan juga melakukan pengembaraan spiritual ke Pantai Selatan. Selain mengunjungi masjid-masjid dan pesantren-pesantren di Yogya, Pangeran Diponegoro juga menemui Ratu Kidul. Namun, tawaran bantuan dari Sang Ratu untuk melawan Belanda ditolaknya karena soal keimanan.
Di Keraton Yogyakarta pada abad ke-18 mulai muncul Korps Srikandi atau prajurit estri yang terdiri dari perempuan-perempuan tangguh. Salah satu komandan pasukan ini adalah Ratu Ageng, ibu tiri Pangeran Diponegoro di Tegalrejo atau permaisuri sultan pertama. Perempuan-perempuan dalam korps ini ahli dalam berperang dan memainkan senjata, sehingga membuat heran pejabat senior VOC (hlm. 21). Bahkan Gubernur Jenderal Marsekal Herman Willem Daendels kagum atas kemampuan pasukan Srikandi yang sanggup menunggang kuda sambil menggunakan bedil begitu hebat.
Seorang Residen Yogya, Frans Gerhardus Valck, menyebut ada dua perempuan di lingkungan Keraton Yogya yang mampu bertindak sangat kejam yaitu Raden Ayu Yudokusumo yang merupakan putri Sultan Pertama dan  Raden Ayu Serang, mantan istri Sultan Kedua.  Raden Ayu Yudokusumo menolak keras saat diminta tentara Inggris untuk meninggalkan rumahnya di Muneng, daerah di antara Ngawi dan Caruban. Perempuan itu juga menjadi salah satu panglima kavaleri senior Diponegoro di mancanegara.
Pangeran Diponegoro menyebut Raden Ayu Serang sebagai pribadi yang dianugerahi kesaktian atau tenaga batin. Pada saat Perang Jawa, Raden Ayu Serang mengangkat senjata dan memimpin 500 pasukan di kawasan Serang-Demak melawan Belanda. Karena sikapnya yang anti-Belanda, dia menjadi salah satu perempuan yang diawasi secara ketat oleh penguasa kala itu.