"Jika tak kau dapati kedamaian dalam dirimu, maka takkan kau dapati kedamaian dimanapun". (Nakhoda Raga)
Beberapa hari yang lalu terjadi sebuah peristiwa yang menguras emosi, peristiwa yang tak pernah diharapkan oleh siapapun . Peristiwa tersebut adalah penyanderaan seorang ibu muda di sebuah angkutan umum dibilangan Jakarta. Dalam video hasil rekaman masyarakat yang kemudian diunggah ke media sosial, nampak si penyandera memegang sebilah pisau yang ditujukan ke leher korban, nampak juga korban dengan tampang kelelahan, kebingungan yang bercampur ketakutan tersebut sedang menggendong anak laki-lakinya yang berusia sekitar 3 tahunan.
Aksi tersebut tentu mengundang keresahan bagi yang melihat, keresahan bercampur emosi membuncah. Hal itu jelas terlihat saat polisi berhasil mengamankan korban dengan terlebih dahulu melumpuhkan pelaku dengan melepas tembakan tepat ke arah bahu sebelah kanan si pelaku. Teriakan emosional seperti “bakar”, “matiin”, “mampus lu” menjadi ekspresi kemarahan serta kegeraman yang keluar dari orang-orang yang menyaksikan kejadian dramatis tersebut.
Beruntung pihak kepolisian cepat tanggap, karena jika tidak, maka “pengadilan jalanan” bisa terjadi seperti yang sudah-sudah, pelaku tewas karena dihakimi masa yang berada pada titik didih kegeraman.
Jujur, sayapun geram. Siapapun yang melihat kejadian itu pasti memiliki ekspresi yang sama. Itulah hakikat potensi kemanusiaan kita, semua sama. yaitu cenderung pada kebaikan, kebenaran dan keindahan atau hanief. Kita semua tidak suka melihat hal buruk dan salah, kita tidak suka dengan kekerasan atas alasan apapun, kita tidak suka melihat penindasan serta ketidakadilan yang terjadi.
Kejadian tersebut tentu meninggalkan trauma bagi korban dan pihak keluarga yang bekasnya akan selalu teringat sepanjang hidupnya, bahkan jika korban ataupun pihak keluarga tidak mampu mengendalikan diri, ungkapan seperti “saya tidak akan pernah rela, pelaku harus mendapatkan balasan setimpal atas perbuatannya, kalau bisa dihukum mati”, akan menjadi luapan emosi yang benihnya akan terus tumbuh jika tidak diinsyafi.
Benih penyakit hati ini akan tumbuh subur menjadi kebencian, kedengkian, dendam bahkan penjara jiwa yang membuat si penderita tidak akan pernah menemukan kedamaian dan ketentraman seumur hidupnya.
Hal inilah yang menjadi problem mendasar setiap kita, bagaimana seharusnya menyikapi segala kejadian dalam perjalanan hidup ini dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Bagaimana kita tetap mampu berpikir jernih dan memerdekakan hati dari segala belenggu penyakit yang hanya akan membuat derita berkepanjangan.
“ah anda enak bicara seperti itu karena anda gak ngalamin, coba kalau kejadian itu menimpa anda atau keluarga anda sendiri?”, ungkapan seperti ini tentu akan kita terima dari sahabat yang geram, dan bagi saya ungkapan ini wajar. Tinggal bagaimana menyikapinya dengan senyum, tenang, adil dan bijak.
Sahabat, saya ingin mengajak anda mengingat kembali hal terbaik dan terindah yang pernah anda alami. Coba bayangkan satu hal, satu tempat atau satu kejadian yang membuat anda begitu bahagia. Sempatkan 1 menit saja berhenti dari membaca tulisan ini, biarkan rekam ingatan bahagia itu hadir dan nyata di alam pikiran anda.
Apa yang anda rasakan?. Tentu anda tersenyum bahagia mengingat kembali kejadian tersebut bukan. Sekarang mari ubah cara pandang kita tentang berbagai hal buruk yang pernah atau tengah kita alami, bagaimana jika sebetulnya tidak ada satupun kejadian buruk yang kita alami. Semua pada dasarnya adalah kejadian baik, indah dan membahagiakan namun dengan bentuk yang sedikit berbeda.
Saya coba ambil sebuah kejadian lain yang membantu menjelaskan apa yang saya maksud diatas, sahabat tentu tahu cerita tentang Ibrahim AS yang dibakar oleh orang-orang yang menentangnya kala itu?, Api besar yang berkobar tidak sedikitpun melukai Ibrahim AS, bahkan ia tidak sedikitpun merasakan panasnya api tersebut.
”ah itu kan nabi, beda sama kita yang manusia biasa, dia kan dikasih mukjizat sama Tuhan”, baik sahabat, saya sepakat, namun sebelum sampai bicara mukjizat yang diberikan Allah kepada para nabi, saya ingin mengajak sahabat berpikir sederhana.
Sahabat pernah merasakan jatuh cinta? Jika pernah maka bersyukurlah, karena itu adalah anugerah yang patut disyukuri. Pernah juga melakukan tindakan yang secara fisik tidak mungkin dilakukan?, seperti saat kita jatuh cinta. Saat jatuh cinta maka hormon bahagia akan bekerja lebih dari yang biasanya, ia akan mendorong sahabat untuk melakukan tindakan diluar batas kebiasaan normal. Contoh, saat sahabat amat sangat lelah secara fisik karena setumpuk aktifitas atau pekerjaan, kemudian orang terkasih jatuh sakit. Apa yang akan sahabat lakukan? Terlebih jika sahabat baru saja jadian atau menikah, tentu dengan sekejap sahabat akan dengan segera merawatnya bukan? Itulah energi cinta dan kebahagiaan, ia adalah dorongan teramat kuat yang mampu menggerakan berbagai hal yang secara fisik sudah diambang batas. Ia melampaui hal-hal normal secara logika.
Contoh lain, bagi yang memiliki orang terkasih jauh secara lokasi namun tergerak untuk mengobati kerinduan yang membuncah di dada, biasanya tak akan lagi merasakan kelelahan walaupun jarak tempuh untuk menemui orang terkasih tersebut membutuhkan tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Rasa lelah secara fisik itu akan terbayar saat kita bisa bertemu dengan orang yang kita kasihi, begitu bukan?
Terbayang, jika energi cinta dan kebahagiaan itulah yang sebenarnya menyelamatkan Ibrahim AS, kecintaannya pada Allah membuatnya tak lagi merasakan sakit secara fisik, ia berhasil merubah kondisi yang menyakitkan itu menjadi kebahagiaan. Karena bagi mereka yang merdeka sedari jiwa segala kondisi nilainya sama, semua adalah baik karena merupakan kehendak dan ketetapan Allah, hanya bentuk atau kejadiannya saja yang berbeda.
Inilah hakikat kemerdekaan sedari jiwa sahabatku, ia melepas dan membebaskan kita dari berbagai belenggu yang selama ini sebetulnya kita ciptakan sendiri di alam pikiran dan perasaan. Oleh sebab itu kita perlu sadari bersama bahwa kemerdekaan sejatinya adalah sebuah pintu gerbang menuju kebahagiaan.
Layaknya sebuah rumah besar yang penuh dengan kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan, pintu gerbang tersebut tentu memiliki kunci agar kita bisa masuk kedalamnya. Apakah kunci pembuka tersebut?
Pada artikel selanjutnya Insya Allah akan penulis paparkan.
Terimakasih sudah berkunjung sahabat
Salam hangat.
Damai di hati damai di bumi.
#JanganLupaBersyukur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H