Benar saja sinisme masyarakat tentang dunia pendidikan kita: :ganti menteri, ganti kebijakan". Tidak lama setelah dilantik sebagai Mendikbud baru, Prof. Muhajir Effendy membuat usulan ngawur menurut saya. Yakni sekolah seharian penuh (fully daily school) bagi siswa SD, SMP dan SLTA selama lima hari. Sebenarnya di beberapa sekolah, terutama yang berasrama, praktek sekolah sehari ini sudah dipraktekkan. Namun pak menteri lupa, sekolah di Indonesia ini banyak dengan karakteristik budaya, insfrastruktur sesuai daerah masing-masing. Â
Usulan Menteri ini dimaksudkan untuk pembentukan karakter, yakni agar seorang anak dapat tangguh dalam menghadapi kompetisi dan dapat terhindar dari pengaruh buruk pergaulan. Namun ada banyak pendapat yang bisa membantah alasan pak menteri ini. Pagi ini saya mendapat kiriman email siaran pers dari komunitas NEW Indonesia (Network forEducation Watch Indonesia) atau Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia tertanggal 9 Agustus 2016. Setelah saya baca dengan seksama, saya setuju dengan pikiran dasar dan usulan dari NEW Indonesia ini. Berikut ini saya tampilkan utuh isinya agar masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra  mempunyai lebih banyak referensi.
Pertama, Mendikbud telah menyempitkan makna Pendidikan Karakter. Makna berkarakter adalah bahwa pendidikan harus mengupayakan agar siswa memiliki watak (karakter) secara pribadi maupun sosial. Kedua watak tersebut akan mendorong seorang peserta didik yang kuat secara pribadi dan terlibat aktif dalam solidaritas dan empatisosial. Sedang Pak Menteri mengurangi keluasan pendidikan karakter pada kekuatan berkompetisi, yang bila tidak berhati-hati cenderung mematikan solidaritas sosial dan toleransi.
Kedua, gagasan sekolah sehari penuh bias kota dan kelasmenengah/kaya. Usulan tersebut mengasumsikan bahwa semua orang tua memiliki pekerjaan yang memakan waktu sehari penuh dan jarak letak pekerjaan yang jauh antara orang tua dan anak (siswa). Di desa, tentu keadaan tersebut tidak berlaku, dan bagi keluarga tidak mampu anak adalah bagian dari keluarga yang memiliki tugas lain selain bersekolah.
Ketiga, usulan Sekolah Sehari Penuh juga bias agama, karena pengandaiannya setelah mata pelajaran umum, anak akan lebih banyak disuruh ngaji dari pada bermain kemana-mana. Tentu pengandaian ini kurang tepat. Karena kenyataan keragaman siswa sekolah dan pendidik. Keragaman adalah realitas yangharus difasilitasi dalam kebijakan, bukan dikotak-kotak.Â
Keempat, Pak Menteri telah mengabaikan bahwa pilar utama pendidikan adalah keluarga dan masyarakat bukan lembaga sekolah formal.Pendidikan karakter dapat matang karena hubungan keluarga dan sosial, bukan semata penguasaan formal materi pelajaran. Kematangan seorang siswa tentu bukan hanya ditentukan oleh tembok sekolah, tapi oleh pergaulan yang ramah dan teladan dari orang tua, masyarakat, dan guru.
Kelima, Pak Menteri juga keliru kalau membayangkan bahwa sumberkekerasan (perkelahian pelajar dan narkoba) adalah karena waktu di sekolah yang kurang. Tentu saja ada banyak faktor yang menyebabkan kekerasan menjadi  masalah, seperti tindakan yang tidak tegas dan teladan yang tidakada. Bahkan, bukan tidak mungkin kekerasan menjadi pelampiasan dari kejenuhan mengikuti pendidikan formal yang lama dan tidak menyenangkan. Berarti masalahnya antara lain adalah metode, media, dan kualitas seorang guru dalam proses pembelajaran, bukan terletak dalam ketersediaan waktu sekolah yang lama.
Berangkat dari beberapa hal tersebut, maka kami menyarankan tiga hal. Pertama, Mendikbud tidak terburu-buru menindaklanjuti gagasan yang masih menimbulkankontroversi. Mendikbud agar lebih tenang sedikit dan menyediakan waktuuntuk belajar dari para bawahan tentang rumusan masalah dan usulan kebijakanyang sudah ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Silakan Mendikbud lebih dahulu melakukan diskusi atau dialog dengan berbagai mitra strategispendidikan agar gagasan tidak mengabaikan pengalaman lapangan para mereka.
Kedua, Mendikbud juga diharapkan tidak berpikir bahwa pergantian menteri harus bermakna perubahan kebijakan. Ada banyak masalah yang sudah coba diselesaikan melalui berbagai kebijakan yang sampai saat ini juga belum terlaksana dengan baik, seperti bagaimana menguatkan kualitas pendidikan melalui penguatan kompetensi guru, bagaimana mengurangi kesenjangan akses pendidikan di pedalaman, bagaimana pembiayaan pendidikan yang bisa menunjang kinerja dan kualitas pendidikan, dan lain-lain. Mari mengoptimalkan yang sudah ada, sambil menggali gagasan-gagasan yang relevan dan visioner untuk pendidikan Indonesia untuk semua yang berkualitas dan berkeadilan.
Ketiga, Mendikbud lebih berhati-hatiuntuk memahami keragaman. Keragaman ekonomi, sosial, politik, dan geografiseorang siswa tidak boleh diseragamkan dalam satu kebijakan (tunggal). Inisalah satu tugas seorang menteri, agar keragaman menjadi energi dan tetapterfasilitas kebutuhan akan pendidikan.
Mari kita yang tidak setuju dengan usulan ini ramai-ramai menyuarakan penolakan sebelum ide ini menjadi kebijakan resmi pemerintah.