Mohon tunggu...
Epetebang
Epetebang Mohon Tunggu... Wiraswasta - untaian literasi perjalanan indah & bahagiaku

credit union, musik, traveling & writing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Dendam dengan Kekasih Anda

19 Februari 2016   16:08 Diperbarui: 19 Februari 2016   16:44 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak kisah, entah dalam cerpen, novel, cerder yang saya pernah baca; apakah itu (katanya) berdasarkan kisah nyata maupun imajinasi pengarangnya. Namun ada satu kisah yang menarik bagi saya. Kisah ini banyak disadur ulang dan diposting di media online. Konon ini kisah nyata, yang diceritakan oleh Lu Di dan ditulis ulang Lian Shu Xiang, yakni tentang betapa emosi, pikiran kotor, dendam terkadang membuat pikiran sehat kita tertutup;  cinta dan sayang kita terbungkus oleh api  dendam dan amarah.

Untuk dokumentasi, kisah ini saya posting juga di kompasiana. Jika Anda membacanya dengan menghayati, tidak terasa ada butiran hangat mengalir di pipi. Pesan penting kisah ini adalah “jika ada sesuatu yang mengganjal di hati Anda yang saling mengasihi, sebaiknya bicarakan, jangan ditutupi. siapapun pasti ada kekeliruan, saling memaafkanlah sebelum menyesal karena berpisah dengan orang yang Anda kasihi selamanya”.

Alkisah, di sebuah keluarga muda yang belum punya anak, sepasang suami isteri sepakat “memelihara” ibu sang bapak di rumah mereka. Inilah awal malapetaka dalam keluarga kecil bahagia ini. kisah ini memakai gaya bertutur saya.

Sejak kecil suami saya telah kehilangan ayahnya. Dia adalah satu-satunya harapan ibu,ibu pula yang membesarkannya dan menyekolahkan dia hingga tamat kuliah. Saya terus mengangguk tanda setuju,kami segera menyiapkan sebuah kamar yang menghadap taman untuk ibu, agar dia dapat berjemur, menanam bunga dan sebagainya. Suami berdiri di depan kamar yang sangat kaya dengan sinar matahari, tidak sepatah katapun yang terucap tiba-tiba saja dia mengangkat saya dan memutar-mutar saya seperti adegan dalam film India dan berkata : "Mari, kita jemput ibu di kampung".

Suami berbadan tinggi besar, aku suka sekali menyandarkan kepalaku ke dadanya yang bidang,ada suatu perasaan nyaman dan aman disana. Aku seperti sebuah boneka kecil yang kapan saja bisa diangkat dan dimasukan ke dalam kantongnya. Kalau terjadi selisih paham diantara kami, dia suka tiba-tiba mengangkatku tinggi-tinggi diatas kepalanya dan diputar-putar sampai aku berteriak ketakutan baru diturunkan. Aku sungguh menikmati saat-saat seperti itu. Kebiasaan ibu di kampung tidak berubah. Aku suka sekali menghias rumah dengan bunga segar, sampai ibu tidak tahan lagi dan berkata kepada suami:"Istri kamu hidup foya-foya, buat apa beli bunga? Kan bunga tidak bisa dimakan?" Aku menjelaskannya kepada Ibu :"Ibu, rumah dengan bunga segar membuat rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih gembira."Ibu berlalu sambil mendumel, suamiku berkata sambil tertawa:"Ibu,ini kebiasaan orang kota ,lambat laun ibu akan terbiasa juga."

Ibu tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku pulang sambil membawa bunga, dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga bunga itu, setiap mendengar jawabanku dia selalu mencibir sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setiap membawa pulang barang belanjaan, dia selalu tanya itu berapa harganya, ini berapa. Setiap aku jawab, dia selalu berdecak dengan suara keras. Suamiku memencet hidungku sambil berkata:"Istriku,kan kamu bisa berbohong. Jangan katakan harga yang sebenarnya." Lambat laun, keharmonisan dalam rumah tanggaku mulai terusik..

Ibu sangat tidak bisa menerima melihat suamiku bangun pagi menyiapkan sarapan pagi untuk dia sendiri, di mata ibu seorang anak laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan. Di meja makan, wajah ibu selalu cemberut dan aku sengaja seperti tidak mengetahuinya. Ibu selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia protes.

Aku adalah instrukstur tari, seharian terus menari membuat badanku sangat letih, aku tidak ingin membuang waktu istirahatku dengan bangun pagi apalagi disaat musim dingin. Ibu kadang juga suka membantuku di dapur, tetapi makin dibantu aku menjadi semakin repot, misalnya ; dia suka menyimpan semua kantong-kantong bekas belanjaan, dikumpulkan bisa untuk dijual katanya. Jadilah rumahku seperti tempat pemulungan kantong plastik, dimana-mana terlihat kantong plastik besar tempat semua kumpulan kantong plastik.

Kebiasaan ibu mencuci piring bekas makan tidak menggunakan cairan pencuci, agar supaya dia tidak tersinggung, aku selalu mencucinya sekali lagi pada saat dia sudah tidur. Suatu hari, ibu mendapati aku sedang mencuci piring malam harinya, dia segera masukke kamar sambil membanting pintu dan menangis. Suamiku jadi serba salah, malam itu kami tidur seperti orang bisu, aku coba bermanja-manja dengan dia, tetapi dia tidak perduli. Aku menjadi kecewa dan marah."Apa salahku?" Dia melotot sambil berkata:"Kenapa tidak kamu biarkan saja? Apakah memakan dengan pring itu bisa membuatmu mati?"

Aku dan ibu tidak bertegur sapa untuk waktu yang culup lama, suasana mejadi kaku. Suamiku menjadi sangat kikuk, tidak tahu harus berpihak pada siapa? Ibu tidak lagi membiarkan suamiku masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuknya, suatu kebahagiaan terpancar di wajahnya jika melihat suamiku makan dengan lahap, dengan sinar mata yang seakan mencemohku sewaktu melihat padaku, seakan berkata dimana tanggung jawabmu sebagai seorang istri?

Demi menjaga suasana pagi hari tidak terganggu, aku selalu membeli makanan diluar pada saat berangkat kerja. Saat tidur, suami berkata:"Lu di, apakah kamu merasa masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak pernah makan di rumah?" sambil memunggungiku dia berkata tanpa menghiraukan air mata yang mengalir di kedua belah pipiku. Dan dia akhirnya berkata:"Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap pagi." Aku mengiyakannya dan kembali ke meja makan yang serba canggung itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun