Libur lebaran kemarin kami sekeluarga pulang kampung ke sekadau, sekitar 315 kilometer dari Pontianak. Dari Pontianak, karena pas hari lebaran, jalan trans kalimantan (karena menghubungkan Kalbar dengan Kalteng) dan atau jalan negara (karena menghubungkan Kalbar ke Kuching, Malaysia Timur) begitu lengang. Dari Pontianak sampai Kampung Simpang Ampar, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, jalannya begitu mulus.
Mulai Simpang Ampar ke arah kecamatan Balai dan Sosok, mulailah petualangan di jalanan khas kalimantan barat. Jalur ini kita harus ekstra hati-hati berkendaraan. Jika musim hujan, kubangan dan genangan air di mana-mana. Sebaliknya, musim kemarau, debu gelap akibat jalan tanah yang dilewati kendaraan menutup pemandangan kita.
Jalur yang parah debunya ini mulai dari Simpang Ampar dan kampung-kampung di wilayah Kecamatan Balai, misalnya kampung Mak Kawing. Selanjutnya debu juga menyebabkan derita bagi warga di kampung-kampung sebelum dan sesudah Kecamatan Semuntai, seperti kampung Semuntai.
[caption id="attachment_351149" align="alignleft" width="1024" caption="Desa Semuntai, salah satu "kampung mati" (foto by edi v.petebang) "][/caption]
Nah, debu inilah yang jika musim kemarau seperti sekarang, melahirkan kampung-kampung mati. Saya namakan kampung mati karena hampir semua rumah penduduk tutup, baik siang maupun malam. Atap rumah dan tanaman ditutupi debu jalanan. Melewati kampung-kampung ini seperti terasa seram karena jarang sekali kita bertemu dengan orang. Debu jalanan ini benar-benar menjadi penderitaan baru bagi warga. Warung, kios harus tutup karena debu. Rumah-rumah yang bagus pun sama warnanya: warna debu.
Bagi masyarakat yang ingin ke wilayah hulu Kalbar, seperti ke Kabupaten Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi, Kapuas Hulu, inilah satu-satunya jalan. Sebenarnya sedih juga melihat warga yang terkena debu ini.
Sesekali ada truk yang menyiram debu di kampung ini dengan air. Tapi karena tidak setiap hari, maka tidak terlalu membawa manfaat bagi warga kampung. Untuk mengurangi debu juga, warga juga memasang portal-portal dari batu dan drum atau kayu di tengah kampung agar pengendara tidak ngebut.
"Tuhan turunkanlah hujan agar kampung kami tidak menjadi kampung hantu lagi,"mungkin begitu bunyi doa-doa yang dipanjatkan warga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H