Spanduk “Sastra Multatuli” terbentang di persimpangan Pasar Ciminyak, seolah menyambut setiap pendatang. Untuk sampai ke Ciseel, tempat Rumah Baca Multatuli berada, perjalanan berikutnya hanya bisa ditempuh dengan menggunakan ojek. Menit pertama, ojek meluncur dengan mulus di atas jalanan aspal, berikutnya, harus mlipir-mlipir di sisi jalan yang sedang diaspal hotmix, berikutnya, mulai masuk ke jalan setapak kecil dari susunan batu-batu besar, berikutnya, naik turun belok kiri belok kanan, mlipir-mlipir di lereng jurang, dengan jalan tidak lebih lebar dari satu meter setengah. Dalam hati, tak henti-hentinya saya berucap bismillah.
Pengalaman ini mengingatkan saya pada perjalanan ojek menuju ke Rumah Baca Istana Rumbia di Wonosobo. Jalan setapak berbatu, kanan kiri jurang, naik turun tanjakan terjal. Namun, kali ini lebih ekstrem. Dalam benak saya penasaran, siapa kira-kira orang yang pertama kali mbabat jalur mlipir-mlipir lereng dan jurang, dan siapa orangnya yang pertama kali mbabat alas untuk membangun tempat tinggal di tengah-tengah hutan. Butuh lebih daripada doa agar selamat melewati jalur “teror” tersebut. Sampai-sampai ketika tiba di depan Rumah Baca Multatuli dan turun dari ojek, tangan saya masih gemetar. Ongkos ojek Rp. 50.000 rasanya pantas untuk perjalanan mengerikan dan berisiko tersebut.
Rumah Baca Multatuli bertempat di salah satu rumah warga di Ciseel, desa yang belum teraliri listrik. Di atas rumah-rumah warga, terdapat panel-panel surya untuk pembangkit listrik. Itu pun hanya bertahan selama beberapa jam saja untuk menerangi malam. Sungguh salut atas perjuangan Kang Ubai menemukan Ciseel dan mendirikan Rumah Baca Multatuli tersebut serta mengadakan Reading Group Max Havelaar secara rutin. Selain belum teraliri listrik, di Ciseel juga tidak ada sinyal telepon seluler, blank spot. Benar-benar bisa menjadi tempat untuk bertapa dan menyepi.
Rombongan dari Semarang: Kang Sigit, Esther, Thomas, Leni, dan Mbah Jamali; dan dari Jakarta: Husni dan Ita Siregar sudah tiba seusai salat Jumat. Tentu saja, dengan wajah pucat campur lega, setelah melewati jalur teror. Setelah persiapan dan istirahat seperlunya, pembukaan acara Sastra Multatuli pun dimulai di atas panggung yang didirikan di dasar turunan, diikuti dengan pertunjukan sulap oleh pesulap yang khusus datang dari Swiss, menampilkan serangkaian trik sulap beserta pernak-pernik sulapnya. Pada saat itulah, Daurie mendadak muncul di atas motornya, dari arah yang berlawanan dari jalur ojek. Beruntung dia tidak melewati jalur yang dilewati oleh teman-teman.
Berikutnya adalah acara teater anak, menampilkan Drama Saijah Adinda. Para penonton digiring ke halaman sekolah, tak jauh dari Rumah Baca Multatuli. Di tanah lapang di samping sekolah, telah ditancapkan sebatang pohon, sebagai satu-satunya dekorasi panggung terbuka. Satu per satu adegan drama dimainkan oleh anak-anak Ciseel. Satu per satu pemain keluar masuk panggung terbuka, harimau jadi-jadian, tentara Belanda, tetapi kerbau yang ikut adegan adalah kerbau betulan. Dua ekor kerbau dimasukkan dalam adegan penyerangan kerbau Saijah oleh seekor harimau. Namun, bukan kerbaunya yang takut pada harimau, pemain harimaunya yang malah takut kepada kerbau.
Acara malam hari adalah hiburan warga. Ada cerita tentang kerbau bertanduk cahaya. Ada Gegendeh dan ngagondang, permainan musik yang berbasis pukulan lesung. Gegendeh dimainkan oleh enam perempuan, secara berbarengan memukul lesung menampilkan suara yang ritmis. Sedangkan ngagondang dimainkan oleh enam perempuan tadi bersama pasangan lelakinya, masing-masing kelompok saling melontarkan kalimat pertanyaan yang dilagukan. Ada juga pembacaan puisi multibahasa. Salah satu bait yang saya ingat: Hirup katungkul ku pati, ajal teu nyaho di mangsa.
Acara pagi harinya adalah Yoga di pinggir kali. Untuk mencari pinggiran yang cukup datar dan luas, terlebih dulu harus menyusuri jalan setapak di pinggiran sungai yang mengalir di sela-sela bebatuan besar. Anak-anak sudah bersiap dengan membelitkan handuk dileher mereka ataupun menyampirkannya sebagai kerudung. Beberapa kawan luar kota mengambil posisi di atas batu-batu besar, dan mulai melakukan gerakan-gerakan yoga sebisanya, seolah-olah para pendekar yang sedang dalam penempaan oleh seorang suhu dari padepokan Swiss.
Beranjak siang, sesuai yang telah direncanakan, selanjutnya adalah napak tilas jejak Multatuli di Rangkasbitung. Setelah berkumpul, para peserta berjalan kaki menuju kampung Cangkeuteuk untuk naik truk bak terbuka, mengingat, akses jalan yang bisa dimasuki truk hanya sampai kampung Cangkeuteuk yang berjarak kurang lebih 3 km dari Ciseel. Melewati jalur Cangkeuteuk-Ciseel dengan ojek ataupun jalan kaki, sama-sama melelahkan. Keringat deras bercucuran. Naik turun jalan setapak. Mlipir-mlipir jurang. Jalan berbatu besar. Kadang licin bekas embun dan hujan.
Sesampainya di Cangkeuteuk, berembus kabar ternyata truk yang akan digunakan tidak boleh memasuki Cangkeuteuk, karena satu-satunya akses jalan baru saja diaspal baru dan belum boleh dilewati. Alhasil, kami harus jalan kaki lebih jauh lagi. Bersama saya, Ervin dari VHRmedia, tak jauh di belakang, Kang Sigit dan Mbah Jamali. Saking enaknya mengobrol, kami tidak tahu kalau jalan yang diambil setelah sampai di jalan beraspal adalah jalan yang salah. Seharusnya kami berbelok ke kiri, tetapi kami malah berbelok ke kanan. Setelah beberapa waktu menunggu dalam ketersesatan akhirnya dua orang ojek pun menjemput dan mengantarkan ke jalan dekat Pasar Ciminyak, yang nantinya akan dilewati oleh truk bak terbuka yang mengangkut anak-anak.
Tak berapa lama, truk tiba. Kami bergegas naik, umpel-umpelan bersama puluhan anak-anak. Di atas truk ternyata sudah ada Kurnia Effendi yang baru tiba bersama Endah Sulwesi langsung dari Jakarta. Perjalanan kembali dilanjutkan menuju ke kota Rangkas, hamparan perkebunan sawit sesekali mengiringi si sisi kanan kiri jalan. Di satu titik, truk dihentikan oleh patroli kepolisian. Setelah melewati sedikit obrolan, negosiasi dan diplomasi, truk pun akhirnya diperbolehkan untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Pemberhentian pertama adalah Pendopo Kabupaten Lebak. Aula Multatuli seolah berucap salam, mempersilakan para rombongan untuk berkeliling. Di belakang pendopo, terdapat sebuah bangunan tua, bekas kantor Bupati Lebak. Di dinding sebelah kiri, terpajang nama-nama yang pernah menjabat sebagai Bupati Lebak, termasuk Adipati Kartanata Nagara, yang diceritakan dalam novel Max Havelaar.