Kamis, 13 Mei 2011, bertolak dari Bandung pukul 11.00, saya menggunakan Bus MGI jurusan Bogor. Suasana bus cukup nyaman, FULL AC dan tidak terlalu penuh, lumayan bisa buat tidur ataupun baca buku selama perjalanan. Namun, beberapa saat setelah bus keluar dari terminal Leuwi Panjang dan mulai melaju menuju pintu tol terdekat, apa yang saya dengar dari seorang penumpang tepat di belakang, benar-benar membuat tidak nyaman untuk tidur ataupun membaca buku. Selama setengah perjalanan, telinga saya “panas” oleh obrolan ala sinetron cinta remaja menye-menye bin lebay. Si cowok sedang bertelepon ria bersama kekasihnya yang ditinggalkan mendadak tanpa pamitan di Bandung karena si cowok mendadak dipindahtugaskan ke Bogor. Dengan suara yang keras sehingga dapat didengar oleh semua penumpang bus, dan dalam bahasa Indonesia logat orang luar pulau, si cowok menaburkan kata ‘maaf’, ‘sayang’, ‘cinta’, ‘setia’ dan tentu saja ‘cup cup muah muah’ selama setengah perjalanan.
Perjalanan ke Bogor, terakhir kali saya lakukan beberapa tahun lalu sebelum ada tol Cipularang. Pada waktu itu, entah berapa jam perjalanan yang harus ditempuh melewati jalur Puncak. Kini, setelah adanya tol Cipularang, perjalan Bandung – Bogor bisa ditempuh hanya dalam 4 jam, sehingga pada pukul 15.00 bus sudah merapat di terminal Baranangsiang.
Masjid Raya Bogor menjadi tujuan pertama setelah turun dari bus. Selain untuk mengerjakan salat Zuhur dan Asar, juga untuk beristirahat sejenak sambil memikirkan langkah berikutnya. Sesuai petunjuk dari Kang Ubai, berikutnya adalah naik bus kecil merk “Rudi” atau “Asli Prima” jurusan Rangkas, tetapi sewaktu turun dari bus MGI sambil melangkah keluar dari terminal, tidak ada satu pun dari kedua merk bus tersebut yang terlihat. Seusai salat, kembali saya menuju ke terminal dan stand by di depan pos polisi Baranangsiang, tempat bus-bus keluar dari terminal. Barangkali, tak berapa lama, salah satu bus tersebut akan muncul.
Setengah jam lebih, ternyata bus yang ditunggu-tunggu tidak muncul. Yang berseliweran malahan bus-bus besar jurusan Lebakbulus, Kalideres, dan entah mana lagi. Saya mulai berpikir jangan-jangan sudah terlalu sore dan bus ke Rangkas sudah tidak ada. Atau jangan-jangan, saya salah tempat menunggu. Tepat setelah pikiran itu terbetik, tiba-tiba ada satu bus bermerk “Asli Prima” perlahan merayap keluar di antara bus-bus jurusan ke Jakarta. Bergegas saya mendekat dan mengadang. Eh, ternyata, bus tersebut sudah tidak narik penumpang, alias mau pulang. Kekhawatiran saya kian menjadi.
Satu jam lebih telah berlalu. Hari semakin sore. Saya memutuskan bahwa saya telah salah posisi mengadang bus. Untuk mencari informasi, saya gunakan trik lama yang biasa saya gunakan untuk bertanya arah. Saya dekati salah seorang pedagang asongan keliling dan membeli gorengan jualannya, beruntung masih cukup panas. Sambil menyodorkan uang dan menunggu kembalian, saya langsung bertanya dengan bahasa Sunda tentang keberadaan bus ke Rangkas. Si pedagang menjawab dengan tepat pada waktunya, ia menunjuk ke arah belakang terminal, tempat bus Rudi terakhir sedang mangkal. Pantas saja dari tadi tidak kelihatan yang lewat, lha wong lewatnya tidak di situ.
Bergegas saya mengikuti arah yang ditunjuk oleh si pedagang. Ternyata benar, masih ada satu bus Rudi terakhir yang sedang menunggu penumpang. Tak berapa lama, setelah bus penuh sesak oleh penumpang, Rudi terakhir pun mulai melaju keluar terminal dan membelah kota Bogor.
Pada awalnya, saya mengira, perjalanan akan ditempuh setidaknya dalam satu jam, kurang lebih. Saya sudah berpesan kepada kondektur untuk diturunkan di pertigaan Cipanas, sesuai petunjuk Kang Ubai lewat sms. Ternyata, dari kondisi bus yang penuh sesak sampai tinggal segelintir penumpang, dan jalan yang dilalui semakin masuk ke pedalaman, belum ada tanda-tanda saya akan sampai di tujuan. Karena penumpang sudah hampir kosong, dan tampaknya kondektur lumayan lelah, ia pun tidur di salah satu bangku. Waduh, kok kondekturnya malah tidur, pikir saya panik, sementara bus semakin melaju membelah kegelapan. Malam semakin dingin. Sewaktu saya melihat kondektur sedikit terjaga karena lonjakan bus, saya bergegas mengingatkan kalau saya minta diturunkan di pertigaan Cipanas. Ia mengangguk dan mengatakan kalau Cipanas sebentar lagi, dan kembali tidur. Walah, kok tidur lagi dia, pikir saya kembali khawatir.
Bus yang melonjak-lonjak melewati jalanan berlubang membuat kondektur beberapa kali terjaga. Sewaktu terjaga ia bergegas berdiri dan mengamati jalanan di depan dan kiri kanan untuk menandai posisi. Setelah ia yakin mengenali posisi, ia pun kembali duduk dan tidur. Saya mengamati tingkah laku kondektur dengan harap-harap cemas. Jam hampir menunjuk pukul sembilan malam. Baru setelah si kondektur bangun untuk ketiga kalinya dan menandai posisi, ia menyuruh saya untuk bersiap-siap turun.
Turun tepat di depan rumah makan simpang tiga Cipanas, saya langsung masuk ke dalam rumah makan, sambil menunggu Kang Ubai. Di rumah makan tersebut, tersedia juga penginapan sederhana, terdiri dari beberapa kamar. Tarif satu malamnya Rp. 50.000,-.
Kang Ubai datang bersama istrinya tidak lama setelah itu. Karena perjalanan ke Ciseel tidak bisa dilakukan pada malam hari, terlalu berbahaya, maka akan dilanjutkan keesokan harinya. Mengisi waktu, Kang Ubai mengajak silaturahmi ke salah sebuah perpustakaan kecil di dekat penginapan, yang kabarnya binaan Rumah Dunia.
Keesokan paginya perjalanan dilanjutkan dari Pasar Cipanas, tujuan: Pasar Ciminyak, angkutan: mobil carry, kondisi: seadanya, ongkos: Rp. 10.000,-, jarak tempuh: + 1 jam, kondisi jalan: aspal berlubang-lubang.