Mohon tunggu...
Jainal Abidin
Jainal Abidin Mohon Tunggu... Wiraswasta - jay9pu@yahoo.com

Wiraswasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dan Mengajar Demokrasi

15 Oktober 2023   21:01 Diperbarui: 15 Oktober 2023   21:08 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dasarnya manusia adalah makhluk pedagogi, makhluk yang bisa mendidik dan di didik. Tak selayaknya mereka bermusuhan hanya karena masalah kecil. Merebut-kan hal-hal sepele sehingga mengorbankan yang lebih besar. Karena eksistensi mereka semua sama, masih dalam proses dan tahap belajar.

Dalam proses berdemokrasi kegiatan belajar mengajar sangat mutlak diperlukan. Supaya demokrasi memiliki arti mandiri. Tak lagi terikat makna sempit dan kehendak penguasa.

Secara umum demokrasi adalah sistem pemerintahan dari dan oleh rakyat serta untuk rakyat. Ketika proses pemilu (legislatif maupun presiden) akan berlangsung, semua mengaku menjadi rakyat atau minimal memihak kepentingan rakyat. Manakala semua usai, rakyat di tinggalkan. Tak akan ada yang ingat (peduli) akan nasib mereka. Bagai kacang lupa kulit. Itulah kalau proses demokrasi dianggap sebatas "menggurui" tanpa ikut pengajarannya.

Belajar dari pemilihan legislatif. Para caleg terhormat hanya mampu mempraktekkan demokrasi sebatas mengajari tanpa mau mempelajari. Dalam setiap kompetisi pemilihan pasti ada yang terpilih (pemenang) dan tidak terpilih (kalah).

Pemenang tidak seharusnya merasa superior sehingga menimbulkan kesombongan sampai-sampai memancing kemarahan pihak lain. Yang kalah pun sudah seharusnya tahu diri, tak perlu ngotot dan ngoyo memaksakan kehendak. Harus bisa sama-sama menghormati hasil yang telah dicapai. Dengan demikian, pemimpin telah mampu mengajarkan nilai-nilai sistem demokrasi.

Pemilu adalah pesta demokrasi. Baik Pilpres 2024 maupun pileg 2024 merupakan sebuah puncak dari pesta demokrasi. Sebuah harapan baru pun selalu terlahir. Waktu tinggal menghitung hari. Persaingan setiap kandidat dan partai juga semakin ketat. Hal ini terlihat di sepanjang jalan gambar capres-cawapres maupun caleg tinggi-tinggian pemasangan. Sampai "banner" penambal ban tertutup oleh gambar mereka. Banner selain calon presiden dan caleg harap minggir dulu.

Pilpres 2024 kemungkinan akan diikuti dua atau tiga pasangan calon kandidat. Perbedaan merupakan berkah sekaligus musibah. Berkah, dengan pilres, banyak lowongan kerja tercipta. Dari pelipatan kertas suara yang melibatkan masyarakat bawah sampai pembuatan spanduk (atribut partai/capres-cawapres). Musibah karena gambar bannernya saja dapat menutupi lapangan kerja wong cilik. Padahal dalam setiap orasi pasti teriakannya demi rakyat.

Kita harus sudah bisa belajar dari pilpres 2019. Bagaimana pada akhirnya kedua calon berangkulan. Bahu-membahu untuk membangun Indonesia. Setelah sebelumnya berkompetisi sengit untuk memperebutkan posisi RI 1. Contoh kongkrit yang harus kita teladani setelah pilpres 2024 berakhir.

Disebutkan politik itu buas. Sehingga seberapa banyak dana dialokasikan tak akan bisa memuaskan. Manipulasi politik, baik money politik atau apapun namanya, selalu dapat di pastikan ada. Modusnya selalu bervariasi. Teknologi juga turut mempermudah untuk bermain manipulasi.

Proses demokrasi dengan Rupiah sumber gambar: kesbangpol.kulonprogokab.go.id
Proses demokrasi dengan Rupiah sumber gambar: kesbangpol.kulonprogokab.go.id

Mungkinkah Pemilu/kada dan Pilpres dapat menjadi semacam moment pemaksaan terhadap calon kandidat untuk memberi zakat maal kepada calon pemilih? Mengingat negeri ini, sudah terlanjur terkenal dengan mayoritas umat islam tapi yang menunaikan kewajiban zakat maal bisa dihitung dengan jari.

Terkadang sebagai pemilih, hal ini tidak membuat kita objektif. Karena terlanjur seperti diberi hutang sehingga jika tidak memilih ada rasa kurang enak untuk tidak memilih. Tapi yang jelas dengan memilihnya kita akan terjebak politik balas budi yang tidak berkesudahan.

Belajar dari pengalaman. Bahayanya Demokrasi yang di ukur dengan uang. Pilih caleg karena banyak uang mayoritas tak produktif. Rekam jejaknya banyak yang hanya menawarkan uang tanpa program yang jelas.

Bagi yang tidak terpilih mayoritas stres dengan hutang. Semua diobral demi rupiah. Sampai-sampai KTP (Kartu Tanda Penduduk) jika menjelang pileg fotokopiannya bisa dijadikan duit. Apalah sesungguhnya demokrasi, kalau uang masih "bercokol" menjadi segala-galanya.

Menatap optimis Indonesia baru. Impian setiap orang, untuk melihat negara yang dihuni memiliki demokrasi yang nyata. Negara yang lahir dari pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang hanya akan tegak, kalau orang-orang yang duduk di dalamnya terdiri dari orang-orang yang baik.

Semua masih butuh terus berproses. Andaikan, semua dimulai dari kemauan belajar tak akan sulit. Karena dengan kemauan, minimal bisa membuat orang tidak baik menjadi tahu nilai sebuah kebaikan. Semua sama, berniat mencetak kebaikan dalam pilpres 2024 dan pileg 2024.

Dalam setiap proses demokrasi selalu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ungkapan jawa menyebutkan "Jerbasuki Mawa Beya". Agar menjadi baik dan bagus butuh biaya. Dalam tradisi itu, seharusnya tetap memperhatikan prinsip efektif dan efisien. Semua harus diperhitungkan betul, agar nanti tidak ada kemubaziran dana.  

Kalau pemimpin, yang notabene masih calon tak mau mengutamakan kepentingan rakyat maka musnahlah kepercayaan kepadanya. Padahal, pemimpin sejati ada untuk melayani bukan minta di layani.

Rakyat tak akan sudi percaya (baca: apatis) akan kepemimpinannya. Rakyat sudah semakin cerdas akan demokrasi. Rakyat tak lagi bekerja pada sistem pasar. Bukan pada siapa yang bayar tapi lebih kepada figur pribadi pemimpin dan rekam jejak.

Pemimpin seharusnya bisa menjadi panutan bagi pengikut. Sebagaimana pesan Ki Hajar Dewantara bahwa prinsip pemimpin harus ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso serta tut wuri handayani.

Sesungguhnya, pada setiap pemimpin sejati juga terdapat sosok pengajar. Sosok penuh pengorbanan yang selalu rela menutun anak didik/pengikut tanpa mengharap tanda jasa. Di depan, ditengah dan di belakang, pemimpin tetaplah peminpin. Di manapun tempatnya, ia selalu bisa memberikan kontribusi pada orang lain. Dia tidak dahaga sanjungaan, tak haus akan pujian bahkan tak perlu kekuasaan hanya untuk memimpin.

Pemimpin juga merupakan pengayom bagi masyarakat sekitar. Dia selalu mencurahkan segala pikiran dan tenaga hanya untuk kesejahteraan rakyat. Bagaimanapun cara dan sekecil apapun, ia selalu bercita-cita mencerdaskan bangsa.

Mengajari dalam artian tidak menggurui, memberi contoh tanpa memaksakan kehendak. Pada dasarnya, sistem pilpres dan pileg serentak merupakan usaha selangkah lebih maju guna mendidik masyarakat berdemokrasi. Semua tetap perlu kesadaran bahwa menjadi orang penting itu baik tapi menjadi orang baik itu lebih penting (urgen). Tidak ada dikotomi -semua sama- belajar dan mengajar demi, serta untuk tegaknya demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun