Mohon tunggu...
Jainal Abidin
Jainal Abidin Mohon Tunggu... Wiraswasta - jay9pu@yahoo.com

Wiraswasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dan Mengajar Demokrasi

15 Oktober 2023   21:01 Diperbarui: 15 Oktober 2023   21:08 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses demokrasi dengan Rupiah sumber gambar: kesbangpol.kulonprogokab.go.id

Terkadang sebagai pemilih, hal ini tidak membuat kita objektif. Karena terlanjur seperti diberi hutang sehingga jika tidak memilih ada rasa kurang enak untuk tidak memilih. Tapi yang jelas dengan memilihnya kita akan terjebak politik balas budi yang tidak berkesudahan.

Belajar dari pengalaman. Bahayanya Demokrasi yang di ukur dengan uang. Pilih caleg karena banyak uang mayoritas tak produktif. Rekam jejaknya banyak yang hanya menawarkan uang tanpa program yang jelas.

Bagi yang tidak terpilih mayoritas stres dengan hutang. Semua diobral demi rupiah. Sampai-sampai KTP (Kartu Tanda Penduduk) jika menjelang pileg fotokopiannya bisa dijadikan duit. Apalah sesungguhnya demokrasi, kalau uang masih "bercokol" menjadi segala-galanya.

Menatap optimis Indonesia baru. Impian setiap orang, untuk melihat negara yang dihuni memiliki demokrasi yang nyata. Negara yang lahir dari pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang hanya akan tegak, kalau orang-orang yang duduk di dalamnya terdiri dari orang-orang yang baik.

Semua masih butuh terus berproses. Andaikan, semua dimulai dari kemauan belajar tak akan sulit. Karena dengan kemauan, minimal bisa membuat orang tidak baik menjadi tahu nilai sebuah kebaikan. Semua sama, berniat mencetak kebaikan dalam pilpres 2024 dan pileg 2024.

Dalam setiap proses demokrasi selalu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ungkapan jawa menyebutkan "Jerbasuki Mawa Beya". Agar menjadi baik dan bagus butuh biaya. Dalam tradisi itu, seharusnya tetap memperhatikan prinsip efektif dan efisien. Semua harus diperhitungkan betul, agar nanti tidak ada kemubaziran dana.  

Kalau pemimpin, yang notabene masih calon tak mau mengutamakan kepentingan rakyat maka musnahlah kepercayaan kepadanya. Padahal, pemimpin sejati ada untuk melayani bukan minta di layani.

Rakyat tak akan sudi percaya (baca: apatis) akan kepemimpinannya. Rakyat sudah semakin cerdas akan demokrasi. Rakyat tak lagi bekerja pada sistem pasar. Bukan pada siapa yang bayar tapi lebih kepada figur pribadi pemimpin dan rekam jejak.

Pemimpin seharusnya bisa menjadi panutan bagi pengikut. Sebagaimana pesan Ki Hajar Dewantara bahwa prinsip pemimpin harus ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso serta tut wuri handayani.

Sesungguhnya, pada setiap pemimpin sejati juga terdapat sosok pengajar. Sosok penuh pengorbanan yang selalu rela menutun anak didik/pengikut tanpa mengharap tanda jasa. Di depan, ditengah dan di belakang, pemimpin tetaplah peminpin. Di manapun tempatnya, ia selalu bisa memberikan kontribusi pada orang lain. Dia tidak dahaga sanjungaan, tak haus akan pujian bahkan tak perlu kekuasaan hanya untuk memimpin.

Pemimpin juga merupakan pengayom bagi masyarakat sekitar. Dia selalu mencurahkan segala pikiran dan tenaga hanya untuk kesejahteraan rakyat. Bagaimanapun cara dan sekecil apapun, ia selalu bercita-cita mencerdaskan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun