Nganjuk, sebuah kabupaten yang terletak diantara 2 gunung tinggi, yakni gunung Wilis dan gunung Arjuno. Karena letaknya tersebut Nganjuk dikenal sebagai kota Bayu atau angin. Letak geografisnya menyebabkan angin bertiup kencang seperti orang berisik jika pergantian musim hujan ke musim kemarau.
Di kota ini ada Masjid yang sangat tua, Masjid Al-Mubarok namanya. Masjid terletak di Kecamatan Berbek. Konon masjid ini juga merupakan cikal bakal pemerintahan yang bermula dari tempat ini.
Drs.Harimantidjo dalam bukunya mengatakan bahwa Masjid ini termasuk salah satu bangunan kuno yang berada di Nganjuk. Masjid Al-Mubarok berdiri tahun 1745, jika sekarang tahun 2023 maka masjid ini kurang lebih sudah berusia 278 tahun.
Pendiri masjid adalah Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sosro Koesoemo atau Kanjeng Jimat, Adipati Berbek pertama yang ditunjuk oleh Kraton Yogyakarta. Beliau juga merupakan pemuka agama islam dimana mayoritas penduduk masih memeluk agama Hindu kala itu.
Masjid Al-Mubarok terbuat dari kayu jati. Keunikannya ada pada atap yang tidak memakai paku antara usuk dan reng tapi dinagel. Awalnya genteng yang digunakan adalah ijuk sedangkan lantainya terbuat dari adukan tanah liat dan kapur yang disebut katel.
Di sekitar area masjid banyak terdapat peninggalan sejarah. Ada benda bersejarah yang berbentu batu Yoni, batu Asah dan Lingga. Dengan keberadaan benda-benda tersebut, menjadi bukti bahwa tempat ini dulunya merupakan tempat ibadah para pendahulu Sang Adipati.
Ada juga ornamen bersejarah berupa mimbar terbuat dari kayu jati berukir. Mimbar itu tercatat terbuat pada tahun 1758. Ada bedug yang sangat indah terbuat tahun 1759. Atap awal yakni tahun 1760 berupa ijuk. Kemudian berganti sirap dan sekarang sudah berganti genteng.
Di Di halaman depan terdapat yoni yang sekarang difungsikan sebagai tempat untuk melihat dan menentukan waktu sholat. Selain itu, di sebelah barat masjid ada area pemakaman, makam kuno Kanjeng Jimat. Makam ini sering ramai dikunjungi peziarah, terutama malam Jum'at Legi.
Di sisi kiri dan kanan Mihrab, terdapat istilah Jawa Condro Kolo (tulisan yang menunjukkan watak bilangan) berbunyi "Adege Mesjid ing Toya Mirah" dengan Sengkalan "Toto Caturing Pandito Hamadangi" yang berarti berdirinya Masjid di tanah ini tahun 1745.
Masih menurut Harimantidjo bahwa masjid ini telah mengalami pemugaran dan penambahan bangunan. KH.Dahlan yang merupakan seorang Penghulu Kabupaten Nganjuk pada tahun 1950 memperbaiki tembok, atap dan lantai. Tembok yang awalnya belum diplester lalu diperbaiki dan diplester. Sedangkan lantainya ditegel dan atapnya yang semula sirap diganti genteng.
Pada tahun 1986 diadakan pemugaran bangunan lagi meliputi ruang induk 14 x 13,5 M. Kemudian serambi I ukuran 14 x 9,5 M dan serambi II ukuran 14 x 5 M. Dan juga ada penambahan bangunan baru meliputi menara adzan setinggi 10 M serta tempat wudhu 10 x 3 M dan pagar depan sepanjang 35 M.
Menilik dari usia yang sangat tua, masjid ini patut menjadi salah satu referensi kalian untuk menjadi wisata religi masjid nusantara.
Sumber tulisan: www.pa-nganjuk.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H