Sedikitnya 2 kali, aku pernah mengenyam pendidikan di bawah naungan NU. Lembaga Pendidikan Ma'arif.
Pertama saat aku masuk sekolah setingkat SMP. Waktu di Madrasah Tsanawiyah itulah aku mengenal mata pelajaran Aswaja.
Mata pelajaran yang menurutku asing. Bahkan sangat asing karena di sekolahku sebelumnya tidak ada.
Aswaja adalah kepanjangan Ahlussunah Wal Jamaah. Masih kuingat bagaimana pemahaman ini menjelaskan islam NU dalam posisi diantara pemahaman yang lainnya. Kalau sekarang lebih dikenal dengan istilah moderat.
Jangan kamu mengira sekolah di Lembaga Ma'arif zaman dulu sudah mentereng seperti sekarang. Dulu lembaga swasta seperti sekolahku di anak tirikan dalam semua hal.
Padahal sekolah memiliki andil yang sama dalam proses mencerdaskan bangsa. Sekolah yang mendidik semua jenis golongan putra-putri generasi bangsa.
Bahkan saat itu Lembaga Maarif memiliki tugas lebih berat. Hal ini dikarenakan Ma'arif menampung anak-anak buangan yang tidak diterima di sekolah negeri.
Bisa dibilang mayoritas anak yang masuk memiliki kekhususan kalau tidak mau disebut kasus. Kita, aku dan teman-teman dulu menyebut sekolah kita sebagai sekolah luar negeri bukan swasta.
Sekolah negeri dan swasta adalah cap dan stigma buruk yang telah dilabelkan. Ditambah perlakuan pemerintah yang makin membuat proses pendidikannya terseok-seok. Â
Namun begitu sebagai guru di Ma'arif tidak ada yang menyebut itu sebagai kasus tapi sebuah peluang untuk mengubah sikap masing-masing anak. Membuatnya lebih baik setelah mengenyam pendidikan di Madrasah.
Awalnya banyak anak yang sekolah di sini. Datang terlambat itu budaya. Ada rasa bangga pada saat itu. Tak terkecuali aku.