Mohon tunggu...
jaka wandira
jaka wandira Mohon Tunggu... -

Staf Bidang Advokasi Petani Yayasan Solidaritas Masyarakat Desa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengembalikan Cita-cita (jadi) Petani

8 Maret 2011   14:26 Diperbarui: 26 Agustus 2017   03:27 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permasalahan lain yang menyebabkan petani tetap miskin, ialah permasalahan kepemilikan, penguasaan lahan. Bicara pemilikan lahan yang sampai saat ini belum menunjukan keadilan, sehingga berapapun produksi pertanian hanya akan habis untuk menyewa lahan yang dimiliki oleh orang perkotaan yang tidak pernah tahu tanahnya ditanami apa di desa. Sedangkan penguasaan lahan yang dimaksud, banyaknya lahan yang dikuasai oleh alat negara (TNI) maupun swasta nasional, perusahaan negara yang tidak mempunyai bukti hak guna usaha atau hak guna usahanya telah habis, bahkan ditelantarkan.

Bagian terbesar angka kemiskinan di pedesaan disumbangkan oleh buruh tani dan petani gurem. Petani yang hanya memiliki 0,3 Ha kebawah, sehingga tidak akan pernah mencapai kesejahteraan dari dunia pertanian apalagi hanya menjadi buruh tani. Kepemilikan lahan yang hanya sebesar itu tentunya tidak akan pernah mampu meningkatkan kesejahteraan petani meskipun dalam mengerjakan lahannya petani tidak mengenal panas dan hujan.

Penguasaan Lahan

Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI menunjukan, saat ini 0,2 % orang Indonesia menguasai 56% tanah diseluruh Indonesia. Merupakan ironi tersendiri didalam sebuah negara yang 37% masyarakat produktifnya bekerja di sektor pertanian. Sehingga seberapapun besarnya produksi pertanian di Indonesia yang akan mendapatkan keuntungan besar adalah pemilik tanah.

Sebenarnya kesenjangan sosial tersebut dapat diatasi dengan menerapkan Undang - Undang Pokok Agraria (UUPA)dan peraturan pertanahan lainnya yang dibuat oleh rezim populis Soekarno. Dimana kepemilikan lahan/tanah dibatasi hanya diwilayah kecamatannya sendiri dan maksimal kepemilikannya hanya 5 Ha. Kalau hal ini mampu dilakukan oleh Pemerintah, maka ketimpangan sosial tersebut dapat dikurangi. Karena hal itu akan membatasi kepemilikan lahan bagi pemilik modal untuk melakukan spekulasi tanah, demi keuntungan pribadi.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa lahan - lahan pertanian di desa yang dikelola oleh buruh tani atau penyewa sebagian besar dimiliki oleh para pemodal yang hidup di perkotaan yang bisa beda propinsi dengan lahan tersebut. Sehingga kesenjangan sosial semakin hari semakin besar yang dapat menjadi revolusi sosial.

Pemberian hak guna usaha terhadap perkebunan baik swasta maupun negara, memang akan menghasilakan devisa yang besar bagi negara. Namun, disisi lain masyarakat disekitar perkebunan tidak pernah menikmati hasil dari perusahaan tersebut dan hanya menjadi buruh perkebunan semata. Belum lagi adanya negara dalam negara didalam perkebunan. Sudah menjadi rahasia bahwa perkebunan besar mempunyai hukum sendiri dalam menangai permasalahan - permasalahan yang berhadapan dengan buruh perkebunan, tanpa intervensi dari negara. Pola hubungan ini tentunya tidak akan membuat buruh perkebunan mendapatkan peningkatan kesejahteraan. Namun semakin terpuruk dengan jerat yang dilakukan perusahaan, seperti menyediakan tempat pelacuran, judi, renternir di area perkebunan yang dikelola oleh perusahaan. Sehingga semua pendapatan masyarakat perkebunan tetap akan kembali pada perusahaan dan buruh perkebunan semakin tergantung pada perusahaan ditengah ketidaberdayaannya.

Melakukan perubahan terhadap pola pemberian Hak Guna Usaha, merupakan langkah yang harus diambil dengan segera. Sebagaimana kita tahu bahwa orang - orang di wilayah perkebunan, merupakan orang yang paling menderita dan mempunyai status sosial rendah di masyarakat pada umunya. Sudah saatnya mereka juga memperoleh hak untuk mendapat Hak Guna Usaha sebagaimana perusahaan - perusahaan perkebunan. Tentunya luasnya dibatasi masimal 5 Ha per kepala keluarga. Sementara perusahaan perkebunan hanya mengelola pabrik pengelolahan hasil perkebunan. Konsekuensinya buruh perkebunan yang sudah mempunyai Hak Guna Usaha juga harus bersedia untuk tetap menanam tanaman perkebunan sesuai dengan HGU yang diterimanya.

Pola ini akan menjadikan hubungan antara orang perkebunan dengan perusahaan perkebunan sejajar dan sama - sama berdaulat. Tidak ada lagi tuan dan buruh, dikuasai dan menguasai. Dengan begitu hubungan masyarakat dengan perusahaan baik secara politik maupun ekonomi akan sama - sama kuat. Kepemilikan lahan yang dikelola oleh masyarakat dengan Hak Guna Usahanya tersebut juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun keuntungan perusahaan perkebunan berkurang, tetapi pemerataan pembangunan akan terlaksana. Dan dengan sendirinya perekonomian nasional akan semakin membaik, pertumbuhan ekonomi tercapai.

Reforma Agraria yang pada intinya ialah landreform atau distribusi tanah kepada masyarakat terutama buruh tani dan petani gurem. Dengan minimal 2 Ha dan Masimal 5 Ha sebagaimana amanat PP. No. 56/1960 tentang landreform, harus segera dilakukan dengan niatan baik dari pemerintah. Karena pemerataan kepemilikan tanah sebagai modal dasar pembangunan akan menjadikan keadilan tercipta. Pemerintah juga harus menyediakan dana untuk membeli tanah dari pemiliknya atas kelebihan tanah diatas 5 Ha, ataupun membeli tanah diluar wilayah kecamatan domisili individu.

Pemerintah tidak hanya bertanggungjawab atas ditribusi tanah kepada petani gurem dan buruh tani, namun juga menyediakan berbagai fasilitas untuk mendukung agar subjek penerima tanah mampu mengakses permodalan, menyediakan pelatihan dll (acces reform). Ini guna mencegah rekonsentrasi kepemilikan tanah, karena bantuan modal, pelatihan (acces reform) yang tidak ada, akan membuat petani menjual tanahnya kembali. Atau petani tetap akan tergantung pada perusahaan pembuatan sarana produksi pertanian, yang menyebabkan kesejahteraan sulit tercapai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun