Mohon tunggu...
Success Mind
Success Mind Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sukarelawan

Homepimpa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Matinya Sistem di Indonesia!

30 September 2022   05:00 Diperbarui: 30 September 2022   05:05 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pixabay.com || family

Sedikit unik jika kita lihat topik pembahasan kita hari ini. Tapi apa boleh buat penulis ingin sekali berargumentasi dengan topik di atas. Izinkan penulis menyampaikan apa yang telah di teliti oleh penulis.

Awal berdirinya negara Indonesia ini tentu melewati banyaknya pertumpahan darah dari golongan manapun. Jika kita amati dari sisi ini satu point yang kita dapat, adalah Indonesia kalah dalam segi perkembangannya. Wajar sekali jika Indonesia masih di posisi saat itu. Tapi fakta yang menarik adalah kemajuan teknologi tidak membuat Indonesia manjawab permasalahan itu ialah, Indonesia masih dalam katagori negara berkembang.

Saat ini Indonesia memang sudah mendapatkan gelar dari Amerika Serikat (AS) bahwa sudah menjadi Negara Maju, tapi fakta yang ada adalah bahwa masyrakat  masih banyak yang belum menerima Pendidikan yang layak. Bukan sepenuhnya negara salah dalam membuat sistem itu hanya saja sistem itu yang belum mampu untuk membuatnya “MAJU”.

Masyrakat tentu menjadi peran utama dalam perkembangannya sebuah negara, terlepas negara itu berkembang atau tidak. Sistem itu dibuat agar adanya sebuah tatanan dalam masyrakat untuk standarisasi negara. Bukan hal yang mudah untuk pemerintah bisa mendeklarasikan masyrakatnya untuk terus berkembang. Tapi tugas tetaplah tugas, baik buruknya pemerintahan itu terlihat dari sistem yang dibuat pemerintahan itu sendiri.

Negara dibalik layar bercahaya

Layar bercahaya menghancurkan visi negara

Tentu harapan negara terhadap masyrakatnya adalah sanggup menghidupi keluarganya ujar penulis. Tapi saat ini bukan hal yang mudah untuk sebuah kepala keluarga memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Apalgi masa kini anak anak cenderung melihat ponsel pintarnya, menjadi awal untuk sebuah kematian.

Jika kita amati berapa banyak di Indonesia ini yang memberikan ponsel pintarnya untuk digunakan anaknya, jawaban paling logis adalah supaya anak itu tenang dan gembira. Tapi dangkal sekali jika mengatasi ketenangan dan kegembiraan itu dengan memberikannya ponsel pintar kepada anak. Iya sihh memang itu menjawab tapi itu menghancurkannya juga.

Pembahasan ini ada kaitannya dengan sikologis anak mari kita amati. Jika waktu anak lebih banyak dengan ponsel pintarnya dibandingkan dengan waktu anak dengan orangtuanya apa yang akan terjadi. salah satu yang mencolok adalah tergantinya kenyamanan dari anak ke ponsel pintar. Inilah dasar dari sebuah Negara itu sulit untuk maju, dari akarnya saja sudah rusak (yang tidak tampak) apalagi bagian luar tentu hancur.

Ironis sekali jika semua tidak bisa di pegang kendali oleh kepala keluarga, tapi penulis menyebutnya “keberhasilan yang tertunda”.

Tidak adanya control penuh terhadap anak  menjadi akar kehancuran negara

Sumber : pixabay.com || family
Sumber : pixabay.com || family

Mungkin kita sebagai masyrakat selalui mengingini sistem negara itu relevan dengan kehidupan nyata dalam bermasyrakat. Tetapi penulis ingin bertanya kepada pembaca, Sistem negara apa yang relevan dengan masyrakat?

Sistem yang paling logis adalah “Sistem Keluarga”. Sedikit beda dengan kata “Sistem negara” tapi penulis harap pembaca bisa memahaminya.

Banyak dari kita sebagai masyrakat menuntut untuk pemerintah membuat sistem yang terbaik. Padahal sistem terbaik adalah kepala keluarga itu sendiri. Bukankah jika akar itu baik tampak luarnya akan baik? bukankah itu hal yang sama dengan negara???

Hilangnya figur keluarga = Hilangnya figur negara

Sumber : pixabay.com || family
Sumber : pixabay.com || family

Penulis ingin memberi statement bahwa “ Negaralah yang membuat Identitas negara”. Setuju atau tidak bukanlah suatu masalah, tapi ada alasan di balik statement itu, jika kita amati siapakah yang menciptakan sebuah identitas keluarga dalam sosial? Kepala keluarga, ibu rumah tangga, atau anak?

Jawabnya paling logis adalah semua, mengapa demikian? karena terbentuk identitas disebabkan adanya sudut pandang masyrakat terhadap sesuatu terlepas baik/buruk identitas itu.  Jadi berhakkah sebuah negara mencipatakan identitasnya sendiri? Jawabannya boleh tapi apakah itu identitas yang sebenarnya?

Tidak adanya mindset untuk berbeda

Sumber : pixabay.com || not think different
Sumber : pixabay.com || not think different

Sejak kecil penulis di ajari bagaimana untuk makan, minum, sikat gigi, dan sebagainya. Normal untuk semua anak, diajari cara menulis, mengeja, membaca semuanya menjadi satu rangkaian yaitu rumah belajar.

Karakter anak itu terbentuk dari kebiasaan yang terus dilakukannya. Dan penulis sebut itu karakter manusia normal. Jika semua anak melakukan hal yang sama dangkal sekali jika kita sebut berbeda. Tapi bagaimana anak itu bisa hidup jika yang dilakukan sama dengan apa yang orang lain lakukan. Dan itu adalah sistem terburuk yang pernah penulis temukan!

Hanya sedikit anak yang tertanam mindset dari keluarganya untuk tampil beda. Tampil beda adalah ilmu yang sedikit orang punya, dan banyak orang membutuhkannya. Alangkah mirisnya jika sebagian besar anak Indonesia tidak mempunyai mindset di atas ini.

Akankah setiap kepala keluarga tau tentang hal ini, sekolah adalah salah satu syarat untuk orang bisa bekerja tapi pikiran berbedalah yang membuat orang bertahan di standar manusia.

Pikiran kalah dengan kesenangan pribadi

Sumber : pixabay.com || stress
Sumber : pixabay.com || stress

Masa kini semua hal sudah di permudah, hampir setiap kubutuhan manusia dipenuhi dengan teknologi saat ini, mencari kemudahan adalah suara hati kecil setiap orang. Sangat wajar jika di era sekarang ini semua sudah serba praktis dan minimalis, ujar penulis. Tetapi realita yang ada membuat regulasi manusia menjadi pudar, semua aturan di tumbur seakan menjadi tembok besar yang menjijikan. Padahal regulasi manusia adalah standar setiap orang, yang mencakup kedisiplinan, ketekunan dan berbagai hal lainnya.

Penulis iba melihat kenyataan yang ada, bahwa tangan putih dan hitam tak lagi menyentuh barang menjijikan itu. Teringat dulu ketika membuang sampah, ternyata langkah kecil yang membuat hati gembira. Tapi  saat ini semua telah digantikan dengan layar bercahaya itu, si perusak dan si penyelamat.

Pilot amatir akan menjadi bulan bulanan oleh ponsel pintar itu, ditambah kasur empuk yang membuatnya nyaman.


Pusat negara ialah keluarga!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun