Mohon tunggu...
Jaka Sandara
Jaka Sandara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas || Digital Marketing || Publishing || Edittor ||

Suka Nulis | Baca | Ngedit | Photoshop | Jurnalistik | Otak-Atik Komputer | Musik | Publishing | Internet Marketing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Supir Angkot

10 November 2021   20:07 Diperbarui: 10 November 2021   20:13 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetesan keringat itu menandakan perjuangan

Diterik mentari disiang hari

Tanpa terasa bibir ini telah mengering

Kerongkongan ini pun terasa kering

Namun semuanya belum selesai

            

Hanya berharap pada angin

Tuk menyejukkan kati ini

Memberi kedamaian

Agar tercipta senyum yang tulus

 

Dia Berjalan dengan mata yang tajam

Memandang jalanan yang penuh tikungan

Menoleh ke kiri dan ke kanan Mencari rezki di pinggir jalan

Terkadang terdengar suara teriakan memanggil sewa

Jika tak begini bagaimana anak bini akan makan

Mengandalkan Angkot tua tuk menghasilkan

 

Pagi sore terasa singkat

Malam yang akan datang pun hampir tiada terasa

Namun senyum selalu ia tebarkan

Agar orang disekelilingnya merasa nyaman

Tertulis sebuah puisi saat Riyan berada tepat dalam angkot tua itu seorang diri. Dia baru saja pulang dari kampus dan langsung menaiki angkot menuju pasar untuk membeli bahan-bahan masak untuk di kos nanti. Derita memang jadi anak Rantau, harus masak sendiri, cuci baju sendiri dan semua serba sendiri, bahkan uang yang didapatkan pun harus menunggu kiriman dari kampung. Jika kiriman terlambat datang, ia harus menahan makan setidaknya dua sampai tiga hari dan berharap ada pinjaman dari teman atau pun induk semang di kos.

Namun ketika melihat sopir Angkot itu yang rambutnya yang telah dipenuhi uban serta keringat yang memenuhi wajahnya, serasa hilang semua penderitaan Riyan selama ini.

"aduhai bapak sopir ini, terlihat lelah dan penuh beban". Ucap Riyan dalam hatinya.

Sudah lumayan jauh angkot ini melaju, namun penumpang masih baru dia seorang saja. Sudah melirik ia ke kiri dan ke kanan mencari penumpang di pinggir jalan, namun penumpang yang diharapkan tak kunjung terlihat.

"hari ini sepi penumpang ya pak". Ucap Riyan memulai sebuah pembicaraan.

"iya nak, bahkan bukan hari ini saja. Tapi sudah 3 tahun belakangan angkot tidak begitu diminati". Jawab pak Sopir itu sambil mengusap dahinya dengan handuk kecil dibahunya.

"apalagi zaman sekarang semua orang pada punya motor, jadi mau kemana saja bisa pakai motor". Sambung pak sopir tersebut.

Riyan hanya bisa menahan haru saat melihat keadaan ini, betapa sulitnya mencari sebuah pekerjaan.

"hmm.. emang bapak nyopir udah berapa lama ya pak? Ini angkot punya bapak ya?". Tanya Riyan penuh dengan penasaran, rambut nya terlihat menari-nari karena kipasan angin yang begitu kencang dibalik jendela.

"Bapak bawa Angkot ini udah dari lima belas tahun yang lalu nak, dulu bapak sampai jual ladang untuk membeli angkot ini, dulu angkot begitu banyak diminati, mulai dari anak sekolahan, pekerja kantor bahkan masyarakat umumnya. Tapi sekarang terbalik seratus delapan puluh derajat nak, kadang untuk makan sama bensin saja dicukup-cukupin nak, ini saja dari pagi baru ada empat orang penumpang Nak". Curhat bapak sopir angkot tersebut.

Mendengar cerita sang sopir tersebut, Riyan merasa sangat beriba hati, dari pagi hanya empat orang sewa saja, bisa dibayangkan karena satu sewa hanya dikenakan Rp. 2.000 Rupiah saja. Malanglah nasib sang sopir angkot tua itu, keringat yang keluar tak sebanding dengan uang yang didapatkan. Namun sedikit banyak harus disyukuri dan dinikmati.

Asyik berbincang, tak terasa pasar semakin dekat, pertanda Riyan akan segera turun. Lama ia bermenung dengan percakapan singkat itu, betapa semangatnya sang bapak mencari nafkah demi sesuap nasi. Tak kenal lelah dan panas, yang jelas bekerja sepenuh hati dan tetap menebarkan senyuman.

Akhirnya, sampai juga dipasar. Langsung saja ia turun dan membuka dompetnya untuk membayar sewa dan ia berniat untuk membayar lebih dari sewa biasanya.

Ternyata isi dalam dompet Riyan hanya ada sehelai uang kertas berwarna merah (Rp. 100rb). Lumayan banyak, namun hanya sehelai kertas itu yang ia punya, langsung saja ia sodorkan kepada pak sopir.

"ini pak ongkosnya".

Melihat uang tersebut sang bapak pun kaget.

"tidak ada uang kecil nak? Bapak belum punya kembalian". Jawab Pak Sopir itu sedikit malu.

Terniat oleh Riyan untuk memberikan semuanya, namun di sisi lain hanya itu uang yang ia miliki untuk beberapa hari kedepan bahkan seminggu ke depan. Jika ia memberikan semuanya, tentu Riyan tidak akan memiliki uang lagi.

Tanpa pikir panjang, Riyan pun memberikan semuanya kepada bapak sopir itu.

"ini pak, ambil saja semuanya. Anggap saja sedekah". Sodor Riyan kepada bapak itu.

"owh jangan nak, hanya 2rb saja kok, kalau begitu lain kali saja membayarnya". Ucap bapak sopir itu sambil tersenyum dan segera saja ia pergi untuk mencari penumpang lainnya.

Riyan pun tertunduk, seakan merasa bersalah dengan bapak itu.

"mudah-mudah suatu saat kita akan bertemu lagi pak, dan aku tak akan melupakanmu". Ucapnya dalam hati sambil melambaikan tangannya kepada angkot tua itu yang semakin menjauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun