Menurut Tulus, jika RON 89 pun yang dijual maka klaim tersebut harus diuji terlebih dahulu di laboratorium independen.
Bahkan, lanjut Tulus keberadaan RON 89 itu juga merupakan anomali. Sebab, karena RON 89 yang dijual merupakan booster dari RON 88.
"Namun, sekalipun mengantongi RON 89, tetap jauh dari standar Euro2," katanya.
Anomali lain, lanjut Tulus, SPBU asing itu menjual harga BBM beroktan terendah di bawah harga pasar.
Padahal, bisa saja hal tersebut merupakan teknik marketing untuk menggaet konsumen pada masa promosi.
Jika masa promosinya lewat, mereka pasti akan menjual dengan harga normal atau bahkan lebih mahal.
Anomali selanjutnya, SPBU asing tersebut beroperasi di Jakarta yang pangsa pasarnya sangat besar.
Padahal, seharusnya mereka didorong untuk beroperasi di daerah remote, seiring sejalan program pemerintah terkait kebijakan satu harga untuk BBM.
"Di daerah tersebut masyarakat jauh lebih membutuhkan karena masih minimnya infrastruktur SPBU," kata dia.
Sumber: jpnn
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H