Mohon tunggu...
zakarial W
zakarial W Mohon Tunggu... -

Mahasiswa yang masih belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Negeri Kita "Minke"

13 Oktober 2013   04:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:37 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini semakin larut Minke. Bisa beberapa teman yang kubilang pelanggan dan lahan uang bagi kehidupanku. Aku tidak mengerti Minke, kenapa aku sangat begitu akrab dengan berbagai lelaki yang sering mampir kedalam kehidupanku. Aku tidak mengerti kenapa. Kasur mulai kurapikan dengan baik. Wewangian tubuhku bercampur dengan bau lelaki yang begitu lain. Apakah aku berterimaksih pada mereka Minke. Tidak Minke, mereka yang seharusnya berterimaksih banyak padaku.

Bintang di malam ini, mengadakan hijrah panjang ke Mekkah. Aku hanya berpesan kepada mereka mengenai permintaan maafku kepada ka’bah yang sangat dipuja ibuku yang kini sudah tua. Aku tidak begitu paham minke, kenapa para orangtua merindukan atau ingin sekali pergi ke ka’bah. Minke apakah kau pernah ke ka’bah dan mengajak kami dengan baiknya. Aku lelah dengan apa yang aku lakukan. Banyak hal yang perlu kuceritakan padamu minke.  Minke  tolong bawa kami ke ka’bah secara gratis. Entahlah minke apakah kau punya nyali untuk melakukan hal itu.

Aku banyak mendengarkan tangisan yang begitu dalam minke. Dari temanku dan hati kecilku yang sering merintih. Ekonomi negeri kita tidak mencukupi di setiap kepala keluarga kami Minke. Kamu tahu Minke, di balik layar kamera kekasihmu apakah ada gambar kami yang sedang memohon, merengek, bergembira kenikmatan.

Bulan tampak murung minke. Melihat kecantikkan kami mulai pudar, di gerayangi mata lelaki bernafsu di meja kerja mereka.  Pucat pasi wajah si bulan, meratapi kami. Kamu tidak begitu paham, mungkin. Kamu sudah banyak beban terhadap banyak hal mengenai berbagai masalah negeri kita yang kaya. Aku menyaksikan kamu mengeluh di layar televisi. Kamu tidak melihat bagaimana caraku mengeluh minke. Aku hampir tertawa sendiri saat melihat orang sepertimu mengeluh. Mengenai negeri kita. Banyak memang yang perlu dikeluhkan. Aku memang mengeluh Minke, tapi keluhanku tidak terlihat seperti keterlaluan.

Minke mungkin ajudanmu dibalik dalang semua ini. Siapa tahu. Aku hanya bisa menyarankan. Aku benci dengan para ajudanmu yang sering mendatangiku sedangkan kamu tidak, hanya sekedar melepas kesahmu. Kepadaku, kepada kami yang menunggu banyak kebijakkan dari titah petinggi negeri ini Minke.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun