"Raksa... dengarkan aku baik-baik," suaranya serak namun tegas, memecah kesunyian. "Kitab Naga Purnama... tidak boleh jatuh ke tangan yang salah."
Di sampingnya, seorang pemuda bernama Raksa Adipura mengepalkan tangannya. "Guru, jangan bicara seperti itu! Aku akan menyelamatkanmu!"
Namun, Ki Jagat Wulung, sang pendekar kawakan yang dijuluki Pendekar Seribu Akal, hanya menggeleng pelan. "Waktuku sudah tiba, Raksa. Tapi kamu... perjalananmu baru saja dimulai."
Ki Jagat Wulung pernah menjadi pendekar terhebat di dunia persilatan. Keahliannya dalam berbagai jurus langka tak tertandingi, dan yang paling ditakuti adalah Tapak Naga Purnama, pukulan mematikan yang hanya diwariskan kepada murid terpilih. Dulu, dia adalah penjaga Kitab Naga Purnama, kitab legendaris yang berisi rahasia jurus-jurus dahsyat. Setelah menyaksikan pertumpahan darah akibat perebutan kitab itu, Ki Jagat Wulung memilih untuk menyembunyikannya dan hidup sebagai pertapa.
Selama bertahun-tahun, ia melatih Raksa, seorang anak yatim piatu yang ditemukannya di hutan. Meski Raksa bukan murid terbaik dari segi teknik, hatinya yang tulus dan keberanian yang tak tergoyahkan membuat Ki Jagat Wulung percaya bahwa ia adalah pewaris yang layak. Di tengah ancaman dari berbagai pihak yang mengincar kitab itu, Raksa dipersiapkan untuk menghadapi bahaya besar yang akan datang.
Di tengah kebisuan malam, langkah kaki terdengar mendekat dari luar pondok.
"Mereka sudah datang," bisik Ki Jagat Wulung. "Bawa wasiat ini... dan jangan biarkan mereka mendapatkannya." Dengan tangan gemetar, ia menyerahkan gulungan kain kepada Raksa.
Sebelum Raksa bisa merespons, pintu pondok dihantam keras hingga terbelah. Bayangan-bayangan hitam menyerbu masuk, mengepung mereka. Tanpa waktu untuk berpikir, Raksa menggenggam erat gulungan itu dan melesat keluar, meninggalkan gurunya yang terbaring tak berdaya.
Bab 1: Pelarian di Lembah Hitam
Hujan turun rintik-rintik, menyelimuti hutan lebat dalam kabut yang semakin menebal. Raksa berlari sekuat tenaga, jantungnya berdentum cepat seirama dengan langkah kakinya yang menghantam tanah basah. Napasnya memburu, dadanya naik-turun, tetapi ia tak berani berhenti. Di genggamannya, selembar kain tua yang tergulung erat seolah menjadi nyawa keduanya. Wasiat terakhir gurunya---sesuatu yang tak boleh jatuh ke tangan musuh.
"Cepat! Dia tidak boleh lolos!" Suara berat seorang pria menggema, disertai derap langkah yang semakin mendekat.