Nuran juga mencontohan di Indonesia fenomena ini dialami oleh Shinta dan Jojo atau Briptu Norman. Muncul fenomenal di awal, mereka masuk dalam mesin uang yang membuat mereka jadi robot. Media mengeksplor semua bagian hidup mereka, mulai dari tubuh hingga privasi mereka. Mungkin 1% privasi yang mereka punya dalam kesuksesan yang sebentar itu.
The Second Cog, The Big Cog, The Crusher alias sang penghancur adalah tiga teori selanjutnya yang mungkin bisa anda baca di http://nuranwibisono.blogspot.com/2011/12/teori-sekrup-dan-kepada-siapa-makian.html , karena mungkin akan terlalu panjang saya menjelaskan disini dan juga terkait apa yang ingin saya kemukakan hanya dua teori pertama.
****
Situasi dalam dua teori pertama adalah angin kencang yang kemudian menjadi konsekuensi peserta X-Factor dalam kelanjutan dari kompetisi ini. Mereka akan datang ke mesin uang yang tentunya tak punya jiwa, eksploitasi yang kadang juga tak manusiawi dalam industri musik.
Pembacaan yang kemudian hadir adalah ketika sang artis masuk ke sekrup kedua. Ketika ia merasa wajar tak harus bagus dalam penampilan, karena merasa sebagai artis pemula, maka ia akan hadir apa adanya. Tanpa ada peningkatan kualitas. Padahal satu hal keras yang perlu diingat dalam industri: Pendengar tak peduli akan hal tersebut.
Pendengar akan berkata bahwa bagaimana bisa penyanyi seperti ini masuk televisi atau diterbitkan. Hanya caci maki yang hadir dan penyanyi yang jarang terkena kritik atau katakanlah angin yang keras ini bisa jadi jatuh karena tak pernah dilatih untuk mendapatkan kritik yang keras atau menjadi penyanyi yang manja.
Seolah menjawab pernyataan Rossa bahwa wajar ia belum bisa menyanyi dengan maksimal adalah: kami tak peduli, jika penyanyi jelek ya sudah memang jelek. Memang apa yang anda lakukan selama berlatih, tak ada hasil.
Dalam hal ini saya memposisikan diri sebagai awam yang hanya jengkel terhadap pembodohan ini. Jelas-jelas beberapa penyanyi meleset nada menyanyinya namun dikatakan menyanyinya sempurna.Ini tentu merusak pandangan saya akan kemampuan atau pengetahuan musik para juri, belum lagi didukung fakta bahwa Rossa tak paham perbedaan antara Punk dan Funk.
Sudahlah. Saya tak mendapatkan apa-apa ketika menonton X-Factor ini kecuali mendapatkan kesempatan memaki penyanyi yang masuk dalam televisi. Atau mungkin begini: mereka dipaksa oleh pemilik modal untuk jadi boneka yang hanya mengeluarkan pujian-pujian yang lebih sering kelihatan seperti lawakan garing.
Siapa yang tahu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H