Artravel Indonesia menggagas Art Fair kali pertama dengan tajuk Big Bad Art (Contemporary) bersama Big Bad Wolf di Ice BSD City, 29 Maret -- 9 April 2018, menampilkan karya dari Deni Mulyana, Edi Bonetski, Edo Pop, Gatot Wijoyo, J. Kuncung, Jaye Rae, Nareswari Wijoyo Putri, Pardiyanto Semper, Sujarwo, dan Taufik Prawoto. Karya-karya mereka mewakili suara yang ditawarkan oleh tajuk pameran Big Bad Art.
Event yang mengetengahkan sesuatu tidak umum dari rutinitas keteraturan, lebih jelasnya sesungguhnya ada sisi gelap atau buram dalam kehidupan yang merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Bahwa keindahan yang terbangun bukan hanya pada keteraturan dan umum, namun lawan dari segala itu melengkapi kesempurnaan.
Keindahan yang berbeda dari persepsi umum secara konsep namun secara visual menghadirkan warna-warna kebahagiaan. Ini menunjukkan bahwa kemuraman dan keceriaan itu memiliki nilai yang setara pada visual.
Tidak harus kemuraman ditunjukan oleh warna yang buram, kumuh atau gelap, namun bisa cerah dan sangat cerah meskipun kenyataannya buram, begitulah kenyataan terkini seperti dalam dunia maya. Semua bisa saja terjadi diluar dugaan, seketika, dan semua seperti terasa indah, meskipun sesungguhnya payah. Â Â
Suka atau tidak itu pilihan bagi penikmatnya. Tugas Artravel Indonesia hanya mengantarkan sekaligus memaparkan apa adanya. Menjadi jembatan bagi seniman untuk kolaborasi dengan masyarakat dan berusaha semaksimal mungkin melakukan pengembangannya.
Bagaimana Big Bad Art mempercayakan kepada karya Deni Mulyana, barangkakli dapat dijelaskan sedikit bahwa sapuan kuas dengan cat minyak warna yang tipis, lembut, namun tegas membentuk pigur-pigur yang samar seperti puisi. Menyampaikan ungkapan hati yang paling dalam dengan kata-kata abigu.
Edo Pop, bebicara pada bahasa tubuh yang satir bagi tubuh itu sendiri, semacam kritik sosial sekaligus autokritik terhadap sistem sosial yang normatif. Terutama pada lingkungan domestik, gender, dan mempertanyakan setiap persoalan sekaligus mencari jawabnya. Hal ini semakin rumit juga detail pada visualnya yang menjalin garis-garis berwarna membentuk figur utama dan figur pembantunya. Â
Gatot Wijoyo, melukis pemandangan dari pandangan kehidupan yang sarat filosofis. Perenungan yang jauh tentang kehidupan itu menjadi sebuah cerita atau gambaran terhadap situasi dan kondisi pikiran serta pemahaman terhadap falsafah hidupnya yang dilukiskannya dengan gaya surealis. Â Â
J. Kuncung, melukis dengan warna monocrome menunjukkan keadaan yang mencekam, situasi yang darurat dan monumental. Ini seperti jiwa yang nampak, mengajak semua turut merasakan apa yang disampaikan dalam visualnya.Â
Jaye Rae, keinginan untuk menyampaikan narasi yang bermakna dan memilih nilai historis meskipun mungkin hanya catatan yang belum tuntas dalam visualnya. Namun demikian senaif apapun bentuk objek menunjukkan sebuah kerja untuk bisa memaknainya
Nareswari Wijoyo Putri, mengenal warna sebagai dunia permainan. Kebahagiaan yang tercurah merupakan ungkapan natural dari spontanitas. Warna-warnanya tidak dibebani simbol atau makna di luar warna itu sendiri begitupun garisnya yang membentuk figur.
 Pardiyanto Semper, mempermainkan dimensi yang dibangun oleh abstraksi warna. Bentuk yang spontan dan pemilihan warna panas, dingin, yang serasi tercipta indah gradasinya. Seolah meminta perhatian tersendiri tanpa harus dijelaskan, visual itu bercerita sendiri dan memperlihatkan kemolekannya.
Sujarwo, berusaha menjelaskan pengetahuan, pengalaman dan daya imajinasinya terhadap macam rupa persoalan serta kejadian di sekelilingnya. Fakta dan kemungkinan-kemungkinannya dicoba divisualisasikan semaksial mungkin. Sepertinya warna bukan hal utama namun bagaimana objeknya dapat menjangkau apa yang ingin disampaikan tepat pada sasarannya.Â
Taufik Prawoto,menyampaikan pesan dengan bahasa karikatural dan parodi dari sebuah legenda cerita atau hikayat. Meskipun sesungguhnya dari sebuah cerita itu merupakan interpretasi dari imaginasi yang selalu terbuka untuk dimaknai.
Tentunya dari seniman yang turut berpameran memiliki kekurangan dan kelebihannya tersendiri. Penikmat hanya menilai karena tidak faham atau menyukainya. Selamat dan sukses Artravel Indonesia dengan Art Fair Big Bad Art di Big Bad Wolf 2018. *)
Yogyakarta, 24 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H